Agropustaka.id, Kabar. Industri peternakan ayam broiler saat ini mungkin sedang meranggas, dimana fluktuasi harga sering menjadi persoalan. HAl itu serupa dengan sebuah pohon yang meranggas, yang terjadi karena faktor lingkungan pergantian musim, pohon rontok daun. Dan hal itu merupakan salah satu metode adaptasi terhadap kondisi lingkungan yang kurang kondusif.
Meranggasnya industri perunggasan di Indonesia bisa disebabkan oleh kompetisi global dan produk impor terutama pakan dan produk pendukung lainnya, atau bisa juga disebabkan oleh kurangnya efisiensi meliputi efisiensi pakan, mahalnya pakan, banyak kandang yang masih konvensional, dan tata niaga yang belum ideal. Atau mungkin ada sebab lain yang belum diketahui.
“Saya mengamati dan mencermati untuk broiler ini sudah hampir satu dasawarsa persoalannya tidak bergeser dari fluktuasi harga jual live bird di kandang dan itu harganya rendah,” kata Prof Dr Ir Ali Agus DAA, DEA, IPU, ASEAN Eng pada Indonesia Livestock Club 24 ‘Catatan Awal Tahun Perunggasan 2023’, yang diselenggarakan pada Minggu, 19 Februari 2023. Tampak hadir sebagai narasumber dalam acara rutin tersebut yakni Ketua Umum PINSAR Singgih Januratmoko, SKH, MM., Direktur Utama BroilerX Prastyo Ruandhito, dan Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi, S.T, M.T, yang diwakili oleh Deputi I Bidang Ketersediaan Dan Stabilisasi Pangan, Badan Pangan Nasional I Gusti Ketut Astawa.
Isu utama industri broiler adalah fluktuasi berkepanjangan harga live bird berkepanjangan yang rendah. Supply demand yang tidak seimbang dan kemungkinan ada oversupply. Akibatnya pelaku usaha rugi dan kerugian ini tidak hanya menimpa para peternak mandiri. Persoalan lainnya adalah daya saing industri broiler Indonesia di kancah global. Pasar domestik masih menjadi pasar yang dominan. Selain itu masih ada persoalan pada SDM, teknologi, dan efisiensi usaha.
Input produksi utama pun sebagian masih mengandalkan impor seperti feed stuffs, GPS, dan peralatan. Isu lain yang disorot oleh Ali Agus adalah mayoritas kandang yang masih konvensional. Juga preferensi konsumen yang lebih menyukai hot carcass dibandingkan cold carcass.
Dia menambahkan rantai pasok dingin pada industri broiler mungkin belum berkembang. Tapi bisa jadi sebenarnya sudah sangat berkembang sehingga menjadi salah satu distorsi tata niaga. “Ini saya kira kita perlu memikirkan kebijakan berbasis data, hasil kajian ditentukan secara profesional independen dan tentu melibatkan banyak stakeholders,” jelas Ali Agus saat membahas solusi atas isu-isu pada industri broiler.
Peta jalan pembangunan industri broiler ke depan juga harus dipikirkan dengan baik. Asumsi dasarnya terkait dengan jumlah konsumsi, potensi produksi, lokasi atau sebaran, SDM, pasar, dan teknologi. Ali Agus juga menyarankan agar ada pemberian insentif dan desinsentif bagi pelaku usaha yang loyal dan comply dengan kebijakan pemerintah. Pasar ekspo juga sebaiknya makin didoring bagi para pelaku usaha besar dengan berbagai insentif yang menarik.
Fasilitasi adopsi teknologi
Adopsi teknologi seharusnya juga difasilitasi. Tidak hanya berupa kandang closed house namun juga perlengkapan atau perkembangannya misalnya IoT. Pengembangan cold chain produk ready to eat berbasis daging broiler akan makin berkembang jika difasilitasi dengan baik. Melalui RPA, cold storage, infrastruktur, dan logistik.
“Tidak kalah pentingnya adalah faktor SDM, human capital, untuk menjadi penggerak itu semua sehingga bagaimanapun juga generasi milenial ini perlu kita siapkan untuk menjadi enterpreneur yang terampil. Human capital menjadi key resource yang sangat vital,” terang Ali Agus.
Direktur Utama BroilerX Prastyo Ruandito menambahkan, tantangan di industri ayam pedaging atau ayam broiler saat ini yang sungguh luar biasa yang bukan hanya dari dalam negeri, akan tetapi gejolak global yang terjadi juga tak kalah berdampak bagi industri perunggasan dalam negeri. Kendati demikian, semua hal tersebut harus tetap disikapi dengan optimisme yang kuat dari para pemangku kepentingan (stakeholder), untuk secara bersama-sama turut membenahi industri perunggasan yang merupakan mayoritas penyumbang protein hewani nasional.
“Salah satu kunci untuk dapat bertahan di perunggasan adalah melalui efisien dan peningkatan produktifitas yang dapat terwujud dengan penggunaan teknologi. Dimana perkembangan teknologi digital telah mendorong perkembangan industri perunggasan menjadi lebih efisien, dengan adanya peran big data, cloud, Internet of Things (IoT), dan kecerdasan buatan (AI). Hal ini membuat kemampuan suatu usaha perunggasan dalam menyerap berbagai teknologi terkini menjadi faktor terpenting, sehingga adopsi teknologi dapat berlangsung dengan baik, dan diraih manfaatnya untuk produktivitas dan efisiensi usaha perunggasan yang dijalankannya,” tandas Prastyo Ruandhito. ap