Antraks: Masalah Sosial Budaya

Agropustaka.id, Pemikiran. Salah satu faktor pendorong yang berkontribusi pada persistensi antraks adalah perilaku masyarakat. Penting untuk menerapkan pengendalian antraks dengan mempertimbangkan faktor sosial budaya, dan perilaku masyarakat. Kasus antraks di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dilaporkan pada minggu keempat bulan Juni 2023 ini, merupakan kejadian yang berulang. Kasus antraks terakhir di Kabupaten Gunung Kidul tercatat pada 2020, sebelumnya pada 2019.

Antraks hanyalah satu dari banyak penyakit yang bersifat zoonosis yang menyebar antara hewan dan manusia. Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes), tiga orang yang meninggal terduga mengonsumsi daging sapi mati, dan ketiganya menunjukkan hasil positif antraks.

Sementara, menurut Kementerian Pertanian, ditemukan antraks pada hewan dengan jumlah kasus sebanyak 11 ekor sapi dan empat ekor kambing yang dilaporkan mati. Selain itu, ada 23 orang mengalami kasus antraks kulit. Dalam catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kasus antraks terjadi secara sporadis pada hewan di seluruh dunia.

Meskipun secara global belakangan ini dilaporkan ada pengurangan jumlah wabah antraks pada ternak dan kasus pada manusia, antraks masih terus ada di sebagian besar wilayah masyarakat pertanian, terutama yang beriklim tropis dan kondisi sosial ekonomi yang buruk. Kasus antraks dilaporkan muncul di negara-negara Afrika sub-Sahara, Asia, dan beberapa negara Eropa, Amerika, dan daerah tertentu di Australia.

Pengaruh lingkungan
Kontak dengan hewan yang mati karena antraks merupakan rute yang paling umum untuk manusia terinfeksi antraks. Penyakit ini memang sulit dikendalikan, dan kejadian wabah sering kali sulit untuk diprediksi.

Pola musiman wabah antraks sebenarnya telah dapat dijelaskan, tetapi belum ada penelitian yang mengkaji kemungkinan keterkaitan antara kasus antraks di daerah endemis di Indonesia dengan cuaca dan perubahan iklim seperti di negara beriklim tropis lainnya. Studi oleh Oetione dkk (2021) di Kenya, Afrika, menyimpulkan bahwa daerah distribusi antraks dipengaruhi oleh perubahan iklim.

Studi ini menghasilkan peta risiko yang dikalkulasi menggunakan berbagai variabel lingkungan, seperti curah hujan bulan terbasah, rata-rata curah hujan, kisaran suhu tahunan, suhu musiman, musim kemarau terpanjang, dan potensi evapotranspirasi.

Hasilnya, peta risiko tersebut dapat digunakan untuk memitigasi wabah antraks di masa depan melalui surveilans dan pengendalian bertarget, untuk meminimalkan dampak antraks di suatu daerah tertentu. Surveilans tentunya harus diintensifkan di daerah-daerah yang dinilai berisiko tinggi.

Bermacam upaya pencegahan penyebaran penyakit Antraks semakin digencarkan setelah seorang warga dusun itu meninggal dunia akibat Antraks dan 87 warga lainnya berstatus suspek Antraks.

Wabah antraks terus dilaporkan dari banyak negara di seluruh dunia, khususnya di negara-negara yang program vaksinasi ternaknya tidak memadai atau investasi untuk pencegahan antraksnya sangat buruk. Daerah endemis antraks secara luas ditandai oleh curah hujan musiman dan kekeringan, dengan persistensi antraks dikaitkan dengan pH yang lebih tinggi serta kondisi tanah yang lebih organik dan topografi.

Luasnya distribusi global kejadian antraks pada manusia, ternak, dan satwa liar diteliti melalui suatu studi di jurnal Nature Microbiology (2019) yang memperkirakan sekitar 1,8 miliar penduduk dunia tinggal di daerah risiko antraks. Secara global, total 63,8 juta pemilik ternak berpendapatan rendah dan 1,1 miliar ekor ternak tinggal di daerah rentan antraks. Kerentanan manusia dan ternak terkonsentrasi pada sistem tadah hujan perdesaan dan wilayah beriklim tropis di Asia, Afrika, dan Amerika Utara.

Perilaku masyarakat
Salah satu faktor pendorong yang berkontribusi pada persistensi antraks di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, adalah perilaku masyarakat.

Karena ternak merupakan aset penting bagi masyarakat yang terkena dampak dan antraks selalu bersifat fatal bagi ternak, kematian ternak mendorong manusia tetap mengonsumsi dagingnya, atau menggunakan produk hewan yang berpotensi menyebabkan infeksi.

Hal ini diperburuk lagi dengan fakta bahwa daging adalah sumber protein langka bagi kebanyakan rumah tangga di perdesaan. Untuk tetap dapat memanfaatkan sumber protein tersebut, mungkin saja peternak dan keluarganya masih mengonsumsi atau bahkan menjual sebagian dagingnya untuk mengurangi kerugian akibat kematian ternak.

Dengan demikian, distribusi antraks tidak hanya ditentukan secara biologis, tetapi juga terpelihara secara sosial budaya sebagai hasil dari perilaku masyarakat. Antraks tidak hanya memengaruhi kesehatan manusia, tetapi juga melanggengkan kemiskinan dan menyebabkan tekanan emosional, terutama di kalangan penduduk berpendapatan rendah yang mata pencariannya bergantung pada ternak.

Pengendalian pada ternak adalah cara terbaik untuk mencegah munculnya wabah. Pengendalian meliputi pembuangan bangkai ternak secara benar, sebaiknya melalui pembakaran terlebih dahulu. Pembatasan perdagangan ternak antardaerah dan hambatan pembelian ternak baru juga sering diberlakukan untuk menghentikan penularan wabah.

Karantina perlu dilakukan pada kelompok ternak yang terpapar antraks, dengan membatasi kontak antara ternak sakit dan yang tidak terpapar. Juga harus ada langkah untuk mencegah ternak sakit tidak mencapai pasar. Menerapkan praktik-praktik pemotongan yang aman, termasuk peningkatan pengawasan proses pemotongan dan inspeksi daging.

Pada peternakan yang terinfeksi, kendalikan kemungkinan adanya vektor seperti serangga dan hewan pengerat serta pastikan dilakukan pembersihan dan disinfeksi.

Pada kenyataannya, sebagian besar intervensi yang digunakan untuk mengendalikan antraks berasal dari solusi teknis seperti vaksinasi, pengobatan, dan biosekuriti peternakan, dengan hanya memberikan pertimbangan yang sangat terbatas pada kondisi sosial budaya yang ada di masyarakat yang terkena dampak.

Pemerintah dan pemerintah daerah disarankan untuk sedapat mungkin melakukan mobilisasi sosial untuk mendukung vaksinasi antraks di daerah endemis. Ada sebelas daerah endemis antraks di Indonesia, yaitu Sumatera Barat, Jambi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Papua.

”One health”

‘One health’ adalah pendekatan yang melibatkan kesehatan hewan, lingkungan, dan manusia, dan konsep ini penting untuk mencegah atau mengendalikan wabah antraks. Peningkatan investasi pemerintah, industri, dan masyarakat ke dalam penerapan one health sangat diperlukan untuk mempromosikan komunikasi di antara disiplin ilmu yang berbeda guna mencapai kesehatan yang optimal dari manusia, hewan, dan lingkungan.

Meneropong antraks melalui lensa one health sudah lama tertunda dan saatnya dimulai. Pendekatan yang lebih integratif diperlukan untuk memperlihatkan bahwa faktor lingkungan adalah area utama yang terabaikan selama ini dalam kebijakan pencegahan dan pengendalian antraks.

Selain itu, dalam menerapkan tindakan-tindakan pengendalian antraks, harus digunakan pemahaman tentang pengetahuan lokal, faktor-faktor sosial budaya, dan perilaku masyarakat yang memengaruhi penularan.

Strategi pengendalian yang sensitif terhadap sosial budaya masyarakat setempat akan menghasilkan komunikasi efektif yang akan membantu membangun ikatan kepercayaan antara pemerintah yang bertanggung jawab dalam pengendalian dan mereka yang berpotensi terkena dampak. Hal yang dianggap bisa berkontribusi pada peningkatan kepatuhan masyarakat terhadap langkah-langkah pengendalian berdasarkan intervensi teknis yang dapat diterima secara lokal.

ap/kcm/Tri Satya Putri Naipospos Centre for Indonesian Veterinary Analytical Studies