Mengantisipasi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) Gelombang Kedua

agropustaka.id, Pemikiran. Wabah Penyakit Mulut dan kuku (PMK) muncul lagi di Jawa Tengah, dan Jawa Timur, dan sulawesi Selatan. Penyebaran sangat cepat, menyasar 200 ekor sapi tiap hari. Berbeda dengan wabah PMK “gelombang pertama” (April 2022 lalu), tren penampakan gejala sakit tidak terlalu parah, namun cepat mati. Maka kewaspadaan patut dilakukan, terutama metode penanganan PMK sesuai trauma wabah sebelumnya. Pemerintah patut segera menggencarkan vaksinasi dan pengobatan, serta karantina hewan sistemik.

Lalulintas perdagangan sapi juga patut diawasi ekstra ketat, terutama di kawasan perbatasan daerah wabah. Bahan pada kawasan wabah perlu dilakukan “lock-down” penutupan pasar sapi. Sekaligus meningkatkan kesehatan kandang dengan peyemprotan disinfektan. Serta pencegahan dengan metode bio-security (melarang orang asing mendekati kandang). Hanya petugas kesehatan hewan yang boleh masuk kandang dengan mengenakan APD (alat pelindung diri).

Sebanyak 614 ribu sapi sudah ter-infeksi di seantero pulau Jawa. Kesembuhan klinis tercatat sebanyak 581 ribu ekor (94,62%). Sedangkan catatan kematian, dan potong bersyarat sebanyak 25.682 ekor (4,18%). Masih terdapat kasus aktif sekitar 6.840 ekor dalam perawatan. Jawa Tengah menjadi kawasan terbanyak kasus aktif PMK (2.465 kasus). Disusul Jawa Timur (1.780 kasus), dan Jawa Barat (900 kasus). Seluruh hewan yang terinfeksi virus PMK berpotensi menjadi penular, tersebar melalui angin.

Penyebaran virus PMK bisa mencapai 90%. Sangat rawan terhadap sapi anakan yang berumur kurang dari satu tahun. Mirisnya di Jawa Timur selalu terdapat 1 juta lebih sapi baru lahir, melalui program Intan Selaksa (Inseminasi buatan sejuta kelahiran sapi). PMK nyata-nyata bisa mengikis produksi susu segar. Sekaligus memperbesar devisa untuk impor susu. Karena setiap sapi perah yang terkena virus PMK harus dimusnahkan.

Kawasan paling “rentan” terdeteksi pada daerah perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Antara lain kabupaten Rembang, Blora, Bojonegoro, dan Ngawi serta jalan lintas selatan (dan tengah) di kabupaten Ponorogo dan Wonogiri. Walau sudah menyatakan kick-off (memulai penanganan PMK gelombang ke-2). Namun pemerintah belum menyataan keadaan darurat. Ke-enggan-an menyatakan keadaan darurat (saat itu) menimbulkan kepanikan di daerah. Karena tidak terdapat alokasi anggaran dari APBN, dan APBD.

Sampai secara eksplisit presiden mengakui wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) pada hewan ternak sebagai “bencana non-alam.” Maka penanganan wabah PMK dipimpin oleh Kepala BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Dibutuhkan percepatan menanggulangi wabah PMK, sekaligus antisipasi kerugian ke-ekonomi-an yang ditanggung rakyat.

Dengan status bencana, berlaku UU Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Perubahan UU Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Serta UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Walau sesungguhnya pada masa wabah PMK, terasa UU Peternakan dan Kesehatan Hewan “tidak ramah” terhadap peternak yang terdampak. Terutama biaya yang dibebankan kepada pemilik ternak.

Padahal ternak (sapi, dan kambing) menjadi aset utama rakyat yang tergolong liquid (gampang dijualbelikan). Sampai disebut sebagai rajakaya. Jumlah sapi di Indonesia diperkirakan sebanyak 18,5 juta ekor (plus 1,2 juta ekor kerbau). Diperkirakan kerugian akibat wabah PMK (gelombang pertama) bisa mencapai Rp 16 trilyun. Maka dengan status “Bencana Non-alam,” penanganan wabah PMK bisa leluasa menggunakan anggaran.

Pemerintah juga memiliki kewajiban memberi ganti-rugi sapi yang mati terkena wabah PMK. Saat ini pemerintah patut menggenjot produksi vaksin PMK dalam negeri, sesuai kesanggupan Pusvetma (Pusat Veteriner Farma). Dua dekade lalu Pusvetma sudah pernah mengukir sukses membasmi PMK. (ap/bhirawa)