Agropustaka.id, Kabar. Pemerintah Indonesia menunjukkan dukungan nyata terhadap sistem budi daya unggas yang memenuhi kaidah kesejahteraan hewan, termasuk diantaranya sistem budi daya ayam petelur bebas sangkar (cage-free). Melalui regulasi baru tentang penyelenggaraan kesejahteraan hewan yang saat ini tengah difinalisasi, pemerintah memberi sinyal kuat bahwa masa depan peternakan, termasuk ayam petelur akan semakin berorientasi pada praktik pemeliharaan yang lebih ramah terhadap hewan dan berkelanjutan.
Dalam release yang dikirimkan ke meja redaksi Agropustaka.id (15/10) disebutkan bahwa Ketua Tim Kerja Advokasi Kesejahteraan Hewan di Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner (Ditkesmavet) Kementerian Pertanian, drh. Puguh Wahyudi, M.Si., menegaskan bahwa pemerintah serius mendorong penerapan praktik kesejahteraan hewan di Indonesia, termasuk pada peternakan ayam petelur seperti sistem budi daya cage-free. Dirinya menambahkan, saat ini pemerintah tengah menyiapkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Hewan yang telah masuk tahap harmonisasi. Regulasi ini nantinya akan menjadi payung hukum terkait norma kesejahteraan hewan di Indonesia.
“Regulasi terkait penyelenggaraan kesejahteraan hewan saat ini sedang difinalisasi dan siap disahkan. Aturan ini akan menjadi landasan hukum standar kesejahteraan hewan di Indonesia, yang meliputi hewan ternak, hewan kesayangan, hewan jasa, hingga hewan laboratorium. Selain itu, juga terdapat poin sertifikasi kesejahteraan hewan dalam regulasi ini yang dapat menjadi acuan bagi peternak dalam mengembangkan sistem pemeliharaan yang lebih berorientasi pada kesejahteraan hewan. Termasuk di dalamnya, pada peternakan ayam petelur,” jelas Puguh.
Dirinya menambahkan bahwa pemerintah juga memberikan dukungan kepada peternak yang mulai menerapkan sistem cage-free. Menurutnya, tren global saat ini memang mengarah ke sana. Karena itu, penerapan prinsip kesejahteraan hewan, termasuk melalui sistem cage-free, diperkirakan akan berkembang secara bertahap di Indonesia. Apalagi, jika di masa mendatang produk Indonesia menghadapi tantangan ekspor dan dituntut beralih ke cage-free, pemerintah menegaskan bahwa Indonesia akan menyiapkan produk yang sesuai dengan permintaan konsumen.
“Di Uni Eropa, regulasi sudah mengatur dan mereka telah 100% beralih ke cage-free. Kita melihat hal ini pasti berdampak pada perekonomian dunia, sehingga kita juga harus siap. Jika Uni Eropa sudah begitu, biasanya negara lain akan ikut. Bahkan bisa menjadi yurisprudensi, karena WTO pernah memutuskan bahwa isu kesejahteraan hewan dapat dijadikan dasar hambatan perdagangan apabila dianggap mengganggu moral publik. Contohnya, dalam kasus Denmark dengan Kanada terkait perdagangan produk anjing laut, Denmark menang karena isu kesejahteraan hewan dianggap sah sebagai alasan,” tambahnya.

Sejalan dengan itu, tren internasional menunjukkan pergeseran yang signifikan ke arah cage-free. Sustainable Poultry Program Manager Indonesia Lever Foundation, Sandi Dwiyanto mengungkapkan bahwa kesejahteraan hewan kini menjadi perhatian publik global sekaligus tuntutan persaingan perdagangan internasional yang tidak bisa dihindari. Menurutnya, sejak tahun 2015 tren produksi telur dari ayam cage-free mulai mendapat perhatian masyarakat luas.
“Sejak saat itu, banyak perusahaan internasional ternama telah membuat komitmen global untuk beralih ke sistem cage-free pada 2025. Hingga akhir 2021, lebih dari 2.000 perusahaan di seluruh dunia, termasuk restoran, penyedia layanan makanan, ritel, dan hotel telah berkomitmen untuk menggunakan telur cage-free. Termasuk di antaranya, sekitar 100 perusahaan di Indonesia yang telah mengomunikasikan terkait telur cage-free. Sebagian besar menargetkan implementasi penuh pada 2025, dan jumlah komitmen dari perusahaan makanan ini terus bertambah,” jelas Sandi.
Di Indonesia, sejumlah perusahaan makanan global juga telah membuat komitmen atau sedang dalam proses menerapkan kebijakan telur cage-free, di antaranya KFC, Pizza Hut, Taco Bell, Burger King, dan The Coffee Bean & Tea Leaf. Perusahaan besar seperti Nestlé bahkan menargetkan penggunaan telur cage-free sepenuhnya pada 2025.
Komitmen ini juga mulai diikuti oleh beberapa perusahaan yang mempunyai basis di Indonesia. Misalnya Superindo yang berkomitmen 100% menyediakan produk telur cage-free di rak mereka. Di sisi lain, cafe dan restaurant ternama yang berbasis di Indonesia juga mulai mengikuti transformasi ini, seperti Ismaya, Bali Budha, hingga Jiwa Jawi.
Sementara itu, Roby Tjahya Dharma Gandawijaya, Owner PT Inti Prima Satwa Sejahtera (IPSS) menilai bahwa prospek pasar cage-free akan terus bertumbuh di masa depan. Menurutnya, seiring tren global yang mengarah ke sistem ini, Indonesia pada akhirnya akan mengikuti arah yang sama.
“Keberhasilan sistem cage-free di Indonesia membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Kami tidak bisa berjalan sendiri. Karena itu, peran seluruh pemangku kepentingan perunggasan nasional sangat penting, mulai dari industri pakan, DOC, peralatan, hingga obat-obatan. Dengan kolaborasi, kita dapat mengembangkan peternakan cage-free di Indonesia, sehingga ketika perubahan itu benar-benar tiba, kita sudah siap dan mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri,” ujarnya.
Selain isu kesejahteraan hewan dan tren global, European Food Safety Authority (EFSA) dalam laporannya menyebutkan bahwa risiko salmonella lebih tinggi pada sistem kandang baterai dibandingkan pada sistem cage-free. Temuan ini menegaskan bahwa sistem cage-free tidak hanya menguntungkan secara perdagangan, tetapi juga berkontribusi pada keamanan pangan dan kesehatan masyarakat.
Dengan berkembangnya tren global serta rencana pengesahan regulasi penyelenggaraan kesejahteraan hewan di Indonesia, peluang menuju peternakan ayam petelur yang lebih memperhatikan aspek kesejahteraan hewan semakin terbuka lebar. Kolaborasi antara seluruh pemangku kepentingan diharapkan menjadi kunci terwujudnya praktik budidaya yang berkelanjutan di Indonesia. AP