agropustaka.id, Kabar. Sekitar 80 persen ternak ruminansia dipelihara oleh peternak rakyat yang identik dengan pengelolaan secara tradisional. Di sisi lain, ruminansia berkontribusi dalam menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berdampak terhadap global warming. Sistem pencernaan ternak ruminansia yang dapat mencerna pakan hijaun menjadi energi memiliki konsekuensi dalam menghasilkan gas metan. Salah satu gas hasil fermentasi rumen yang berpotensi besar dalam menahan panas matahari di atmosfer (lebih tinggi dibandingkan CO2).
Peternakan sistem tradisional lebih banyak memberikan pakan hijauan, bahkan tanpa penambahan konsentrat pakan. di Indonesia, banyak limbah peternakan menjadi bahan pakan utama untuk ternak ruminansia. Pakan dengan kualitas rendah, yakni yang kandungan serat tinggi, namun proteinnya rendah -cenderung menyebabkan peningkatan produksi metan.
Kesadaran dan pengetahuan peternak yang masih lemah dalam manajemen peternakan menjadi faktor utama produksi gas rumah kaca dari peternakan ruminansia di Indonesia sangat tinggi. Berdasarkan laporan penelitian Nugrahaeningtyas (Sustainability, 2018), produksi gas rumah kaca di Indonesia berasal dari fermentasi rumen yang mencapai lebih dari 80 persen dan sisanya berasal dari kotoran ternak.
Isu pemanasan global menjadi prioritas yang harus sangat diperhatikan, karena berkaitan dengan perubahan iklim yang terjadi di berbagai belahan dunia. Konsep pembangunan peternakan ramah lingkungan penting untuk dilakukan. Salah satu upaya dalam pembangunan peternakan ramah lingkungan adalah manajemen pemberian pakan yang baik pada ternak.
Laboratorium Biokimia Nutrisi, Fakultas Peternakan UGM memiliki payung penelitian dalam pengembangan suplemen pakan untuk menurunkan produksi metan. Rangkaian penelitian tersebut sudah dilakukan lebih dari 10 tahun. Guru Besar Fakultas Peternakan UGM Prof. Dr. Ir. Lies Mira Yusiati, SU., IPU. ASEAN Eng. memaparkan bahwa penelitian yang selama ini dilakukan banyak memanfaatkan senyawa bioaktif dalam tanaman (legume), seperti saponin, polifenol, dan tannin yang memiliki kemampuand dalam memanipulasi rumen untuk menurunkan metan.
“Indonesia kaya akan biodiversitas tanaman pakan yang mengandung senyawa aktif untuk memanipulasi rumen, sehingga produksi gas metan dapat ditekan. Akan tetapi potensi tersebut belum banyak dimanfaatkan menjadi teknologi atau suplemen pakan. Terutama oleh peternak rakyat. Oleh sebab itu, beberapa tahun ini kami berusaha memanfaatkan potensi senyawa bioaktif tersebut menjadi teknologi tepat guna supaya dapat dimanfaatkan oleh peternak,”Lies Mira Yusiati yang merupakan Kepala Laboratorium Biokimia Nutrisi, Fakultas Peternakan UGM.
Laboratorium Biokimi Nutrisi, Fakultas Peternakan UGM melakukan pemberdayaan pada Kelompok Ternak Ayo Angon di Dusun Buyutan, Desa Ngalang, Gunungkidul untuk pengembangan peternakan ramah lingkungan. Anggota kelompok ternak diberikan pelatihan pembuatan teknologi tepat guna yang dihasilkan dari kombinasi beberapa tanaman hijauan potensial dengan kandungan senyawa bioaktif. Teknologi yang dikembangkan dalam bentuk pelet sehingga mudah diberikan kepada ternak. Selain pelatihan pembuatan suplemen pakan, anggota kelompok ternak ini yang terdiri dari banyak pemuda juga diberikan materi terkait dampak peternakan terhadap global warming atau perubahan iklim dunia.
“Pengetahuan dan pemahaman peternak terhadap dampak peternakan yang menghasilkan gas metan dan berdampak terhadap pemanasan global menjadi dasar untuk menyadarkan para peternak untuk melakukan manajemenen peternakan yang baik, terutaman dalam pemberian pakan. Langkah awal ini menjadi starting point untuk membangun peternakan ramah lingkungan,” jelas Dr. Muhsin Al Anas yang merupakan salah satu anggota peneliti dan pelaksana program pemberdayaan.
Lies Mira Yusiati menambahkan bahwa ke depan, teknologi atau inovasi dalam menghasilkan suplemen pakan untuk memanipulasi rumen dalam upaya penurunan produksi metan akan dikembangkan berdasarkan kebutuhan atau status fisiologis dari ternak.
AP/Penulis: Muhsin Al Anas, Fakultas Peternakan UGM