Jebakan Pangan Daging Sapi

Masih segar dalam ingatan, di era 1970-an, di saat pertama kali ayam broiler diintroduksikan di negeri ini. Setelah lima dekade, kini kita mengalami kesulitan untuk mendapatkan daging ayam lokal yang mampu bersaing untuk memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri. Sejatinya, pada kasus ayam broiler ini kita telah masuk ke dalam kondisi jebakan pangan dunia. Pasalnya, kita masih tergantung 100% terhadap bibit ayam broiler yang belum mampu diproduksi di dalam negeri.

Bagaimana dengan daging sapi dalam pembangunan sapi potong nasional? Memperhatikan berbagai fenomena yang terjadi mengenai program ketersediaan pangan, menurut para ahli bahwa para penentu kebijakan dalam sistem pangan nasional belum menyadari betul mengenai permasalahan komoditas pangan yang sesungguhnya sebagai sumber pangan secara tepat.

Alhasil, kebijakan yang dilahirkan oleh para pembuat keputusan sering dirasakan bias dan kurang mendukung terciptanya kemandirian pangan nasional. Pada kasus komoditas daging sapi, kebijakan yang muncul sering kali menjadi kontra produktif dan bahkan menimbulkan kekhawatiran para pihak bahwa kebijakan tersebut secara jangka panjang bisa mengancam kemandirian pangan khususnya pembangunan peternakan rakyat sebagai sumber pangan asal daging sapi nasional.

Misalnya, perubahan kebijakan produksi menjadi pendekatan harga (Permendag 669/2013), rasio impor sapi bakalan dan sapi indukan (Permentan No. 49/2016), impor daging kerbau yang berasal dari India (SK Mentan No. 2556/2016), impor daging sapi tanpa kuota serta diubahnya kebijakan impor sapi bakalan, dari berat 350 kg/ekor menjadi 450 kg/ekor.

Jebakan pangan daging sapi, mengandung pengertian ketidakmampuan sarana dan prasarana produksi pangan asal ternak sapi di dalam negeri untuk bersaing dengan daging sapi impor. Dengan kata lain, lemahnya daya saing produksi daging sapi di dalam negeri. Hal ini bisa terjadi salah satunya karena kesalahan persepsi penentu kebijakan terhadap fenomena regional yang tumbuh dan berkembang saat ini.

Pola dasar kebijakan harga murah bukannya harga terjangkau merupakan awal dari bencana jebakan pangan daging sapi. Ketidakmampuan bersaing dengan harga yang murah ini telah menyebabkan pemerintah mengambil kebijakan jalan pintas, yaitu memilih komoditas daging impor ketimbang bersusah payah berbudidaya dan berproduksi di dalam negeri. Hal ini tidak seharusnya terjadi jika sistem ketahanan pangan yang dibangun adalah sistem yang berbasis pada keragaman sumberdaya bahan baku pangan, kelembagaan dan budaya lokal (FGD Pangan, 2003).

Indikasi yang dapat dilihat melalui berbagai fenomena yang terjadi, sebagai berikut; pada tahap awal hal ini ditandai dengan membanjirnya produk daging sapi/kerbau impor dengan harga yang murah. Hal ini mengakibatkan semakin tidak efisiennya sistem produksi daging sapi/kerbau di dalam negeri, dan lebih jauh akan menyebabkan tidak terpakainya sarana dan prasarana produksi selama beberapa masa siklus produksi. 

Fenomena tersebut tampak gamblang berdasarkan data BPS (2013) yang diolah Gapuspindo (2016) dan Bappenas (2015), bahwa diprediksi rasio kemampuan produksi domestik dengan impor makin mengecil yaitu dari 73 % di 2011, menjadi sekitar 65,4% (2015) dan 56,1% pada 2019. Dari data tersebut, telah terjadi defisit tumbuh produksi domestik dengan impor sekitar 13,47%, sedangkan impor daging dan sapi tumbuh 4,33%. Artinya, ketergantungan terhadap impor semakin meningkat.

Dampaknya, kini mulai dirasakan bahwa di sentra-sentra konsumen seperti di Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten para peternak penggemukan sapi potong rakyat yang semula menyangga wilayah ini untuk pengadaan sapi siap potong domestik, kini telah mulai berubah orientasi bisnis usahanya kepada bisnis penyediaan hewan kurban tahunan. Karena, pasar hewan kurban jauh lebih menjanjikan harganya ketimbang pasar tradisional yang ada. Hal ini terjadi, karena pasar mereka dibanjiri daging kerbau asal India yang relatif murah harganya sebagai substitusi daging sapi.

Sering pula terjadinya keterjebakan pangan, melalui masuknya pangan impor yang diikuti budayanya ke Indonesia melalui suatu skenario bantuan pangan. Misalnya, di negeri ini konsumsi daging sapi dikenal dengan pola konsumsi daging panas (daging segar/hot meat). Pola konsumsi ini, merupakan kearifan lokal karena pola pangan yang bersifat rasa juicy daging dinikmati oleh konsumen.

Namun demikian, pola ini kini mulai bergeser sejalan dengan introduksi frozen meat melalui berbagai program subsidi harga (kasus DKI Jakarta) dan gelontoran daging industri dan daging India di pasar tradisional melalui program operasi pasar Bulog. Padahal, selama periode bantuan telah terjadi proses pembelajaran konsumen untuk menyukai produk impor (frozen meat).

Hal ini telah pula menyebabkan mulai tersingkirkannya produk dan budaya pangan asli atau domestik. Kondisi ini disebut sebagai supply create demand, dimana telah terjadi pula pada industri produk bakso rakyat kini telah menggunakan berbahan baku produk impor (frozen meat), yang semula berasal dari daging segar, bahkan bakso berbahan baku jantung sapi impor.

Sesungguhnya, komitmen penting pemerintah yang diperlukan adalah untuk tidak dengan mudah melakukan impor pangan, khususnya dalam rangka mewaspadai dan menangkal jebakan pangan. Komitmen ini perlu dibarengi dengan upaya yang fokus untuk memanfaatkan sumberdaya indigenus sebagai kearifan lokal dan keunggulan komparatif.

Dalam jangka panjang, komitmen ini merupakan prasyarat terciptanya kemandirian pangan yakni ketahanan pangan, terbebas dari jebakan pangan. Perlunya kebijakan tersebut karena pada tingkat ekstrem jebakan pangan daging sapi akan menyebabkan terenggutnya keleluasaan dalam menentukan kebijakan pangan nasional, karena beban biayanya yang sangat besar agar terlepas dari ketergantungan terhadap impor.

sumber: Rochadi Tawaf, Dosen Fakultas Peternakan Unpad; anggota Persepsi Jawa Barat 

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments