Sudah berlebihan. Itulah kata paling tepat untuk menyebut perilaku negatif elite ekonomis dalam merancang industrialisasi perekonomian nasional bangsanya. Benar, bahwa industrialisasi berbasis impor (import based industri/IBI) telah sukses menghadiahkan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, pada saat yang sama telah ngebiri dan sekaligus menganaktirikan petani dan usaha tani, (domestic based industri/DBI). Yang selama ini dibatasi untuk sekadar menjadi penghasil pangan murah, bemper inflasi dan penyedia lapangan kerja semata, ketika negara tidak mampu melakukannya.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi bangsa ini, kecuali telah membunuh petani dan usaha tani, ditandai oleh watak pertumbuhannya yang: (i) Tidak stabil. (ii) Terpusat di Jakarta. (iii) Didominasi oleh konsumsi dan eksportasi. (iv) Ditopang sepenuhnya oleh sumber daya alam. (v) Mengandalkan tenaga kerja melimpah, murah-meriah. Sementara, ekportasi diwarnai bahan baku dan sumber daya alam tanpa smelting, berkembangnya konsumsi disifatkan oleh dominasi barang-barang impor.
Proteksi dan pertumbuhan IBI sudah berlebihan karena tidak pernah siap dilepaskan dari perlindungan negara bahkan untuk bersaing di negeri sendiri. Kecuali dengan dukungan komponen impor, terutama bagian jantung dan hatinya. Lihat saja misalnya: otomotif, teknologi informatika, elektronika, kedirgantaraan, dan sejenisnya. Daya saing IBI ini harus senantiasa ditimang-timang dan tidak pernah terbangun. Sementara, untuk kepentingan itu sektor DBI harus dibikin mati. Inilah penjajahan nyata bagi petani oleh para pemimpin negerinya sendiri. Praktik sistem ekonomi seperti itu jelas bukan demokrasi ekonomi RI.
Praktik perekonomian yang tidak demokratis itu pun ternyata telah menghasilkan pertumbuhan yang tidak stabil dan sangat sentralistis di Jakarta. Tiga catatan penyimpangan tersebut: tidak stabil, sentralistis, dan tidak demokratis, sudah cukup sebagai landasan politis bahwa model pembangunan perekonomian yang dikembangkan telah gagal total mengemban amanat Kemerdekaan Indonesia. Dan, karena itu sudah waktunya dirombak secara total untuk menuju sistem perekonomian yang menjamin stabilitas pertumbuhan, desentralisasi ekonomi ke seluruh pelosok Tanah Air. Dan demokrasi ekonomis yang memberikan kesempatan serta keadilan bagi kaum tani sebagai mayoritas warganya.
Cukuplah sudah praktik-praktik dan kebijakan ekonomi yang memanjakan IBI sebagai pembangunan perekonomian yang protektif tetapi senantiasa gagal, tidak kunjung dewasa. Dan kini, sudah waktunya memberi kesempatan bagi jutaan investor gurem, kaum tani, untuk memperoleh keadilan ekonomi, menggantikan IBI.
Demokratisasi perekonomian nasional yang pro-petani seperti ini jelas sekali wujud demokratisasi itu sendiri. Sekaligus menyebarkan kesempatan pembangunan ekonomi ke seluruh pelosok Tanah Air, dan serta merta menjanjikan stabilitas karena mengandalkan daya dukung sumber daya domestik. Selain juga menekan ketergantungan terhadap importasi bahan baku, tenaga ahli, modal dan teknologi.
Sudah terlampau lama kaum tani bersabar demi pertumbuhan perekonomian nasional. Akan tetapi ternyata, kesabarannya tidak membawa keadilan dan kemaslahatan bersama. Dengan keyakinan seperti itu maka sudah waktunya bagi petinggi negara untuk melakukan telaah ulang, model pembangunan seperti apa yang harus dirumuskan bagi keadilan bangsa? Ketika koreksi itu dilakukan, sudah pasti, potensi alternatifnya adalah keharusan untuk kembali ke pertanian dengan pemberian kesempatan sebesar-besarnya bagi kaum tani.
Teramat jelas bahwa jaminan bagi terwujudnya desentralisasi ekonomis, stabilisasi pertumbuhan nasional sekaligus keadilan demokrasi ekonomis hanya bisa terwujud. Ketika bangsa besar ini kembali mengingat dirinya sebagai negara agraris dan kembali ke pertanian.
sumber: Prof Dr M Maksum Machfoedz, Guru Besar Agroindustri UGM dan Waketum PBNU. Artikel ini pernah dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat