Mendesak, Regenerasi Peternakan Sapi Perah

agropustaka.id, kabar. Ketersediaan pakan hijaun yang terbatas serta regenerasi peternak sapi perah yang semakin sedikit menjadi tantangan yang harus segera dipecahkan untuk mempertahankan eksistensi industri sapi perah dalam negeri. Apalagi kalau melihat fakta bahwa kebutuhan susu nasional di tahun 2019 mencapai 4.332,88 ribu ton yang dipenuhi dari produksi susu di dalam negeri sebanyak 22 %, dan sisanya 78 % masih impor. Produksi susu saat ini masih didominasi susu sapi.

Raden Febrianto Christi, Dosen Produksi Ternak Perah Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran (Fapet Unpad) menyampaikan, produksi susu sapi mayoritas berada di pulau Jawa. Provinsi Jawa Timur (Jatim) menghasilkan susu sapi terbanyak dengan 523.104 ton, disusul Jawa Barat (Jabar) dan Jawa Tengah (Jateng) dengan angka 351.885 ton dan 100.799 ton. Bisa dikatakan 53 % dipenuhi dari Jatim, 35 % dari Jabar dan Jawa Tengah 10 % sisanya seperti DKI Jakarta dan DI Yogyakarta menyumbang masing-masing 1 %.

“Padahal kita memiliki potensi ternak perah lain seperti kambing perah yaitu kambing peranakan etawa, kambing saanen, dan kerbau perah yang pemanfaatannya belum maksimal,” kata dia dalam Webinar Bincang Peternakan “Strategi Keberhasilan Peternakan Sapi Perah di Era Revolusi Industri 4.0” yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Profesi Ternak Perah (KSPTP Fapet Unpad), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM Fapet Unpad) serta Indonesia Livestock Alliance (ILA) pada Minggu 1 Nopember 2020.

Acara itu juga menghadirkan Septian Jasiah Wijaya, Owner Waluya Wijaya Farm serta Moh Nur Alim Muslim, Kepala Quality Control, Riset and Development Cita Nasional. Kegiatan tersebut merupakan salah satu rangkaian acara dalam rangka menyongsong Musyawarah Nasional Ikatan Sarjana Mahasiswa Peternakan Indonesia (Munas ISMAPETI) XVI.

Lanjut Raden, kondisi tersebut semakin diperparah dengan fisiologis pada sapi perah yang tidak optimal menjadikan populasi sapi perah yang banyak tidak menjadikan patokan dalam menghasilkan produksi susu yang optimal karena banyak faktor yang memengaruhi.

Minimnya ketersediaan pakan hijauan juga menjadi masalah yang harus dicarikan solusinya. Mengingat, hijauan merupakan pakan utama bagi sapi perah. Konsentrat sebagai pakan pelengkap agar keseimbangan nutrisi tercukupi dalam menghasilkan produksi susu baik secara kuantitas maupun kualitas. “Masih banyak yang saya temui, peternak yang memberikan pakan ala kadarnya,” ujarnya.

Peternakan sapi perah yang didominasi oleh peternak rakyat dibutuhkan sentuhan teknologi baik dalam pembuatan pakan, manajemen pemeliharaan, serta reproduksinya. “Hal itu menjadi tantangan bagi generasi peternak milenial apalagi dihadapkan era revolusi industri 4.0 dalam upaya meningkatkan produksi susu di tanah air,” urainya.

Namun ia sedikit khawatir terkait regenerasi peternak sapi perah. Hal itu, didasarkan hasil pengamatannya di Pangalengan Kabupaten Bandung yang mana anak-anak sebagai penerus dari orang tuanya berprofesi sebagai peternak sapi perah menyatakan tidak tertarik untuk melanjutkan profesi orang tuanya. “Hanya 3 % yang mau meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai peternak sapi perah,” terangnya.

Kendati demikian, ia kemudian memberikan stimulus kepada anak-anak bahwa usaha sapi perah sangat menjanjikan. Mulai dari hulu sampai hilir sapi perah itu dapat menghasilkan uang. Namun ia sedikit senang tatkala saat ini sudah bermunculan industri rumah tangga di daerah Majalaya kabupaten Bandung bahkan sampai bisa mengeluarkan produk yang berbahan baku dari susu. (ap/sumber: trobos)