agropustaka.id, Opini. Prospek industri perunggasan 2021 tak bisa dilepaskan dari kondisi fundamental ekonomi. Pemerintah, juga Bank Indonesia (BI), optimistis perekonomian bakal pulih pada kuartal II 2021. Menkeu Sri Mulyani meyakini ekonomi tumbuh 5 persen, sementara proyeksi BI berkisar 4,8-5,8 persen.
Namun, ada yang memproyeksikan pada 2021, ekonomi Indonesia belum bisa sepenuhnya pulih. Pergerakan ekonomi masih bergantung pada penanganan Covid-19, yang sampai hari ini belum diketahui kapan mencapai puncak.
Dalam kondisi seperti itu, sejumlah bisnis, termasuk hotel, restoran, dan katering (horeka) yang selama ini banyak menyerap produk unggas, masih harus membatasi kapasitas. Padahal, biaya operasional, seperti gaji karyawan, listrik, sewa kantor, dan biaya tetap lainnya harus dibayar penuh.
Merujuk pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020 yang negatif 3,49 persen, sektor pertanian tetap tumbuh positif: 2,15 persen. Sektor pertanian menjadi satu-satunya sektor yang tumbuh tatkala sektor lain terpuruk.
Perdagangan dan reparasi, konstruksi, industri pengolahan, pertambangan, dan penggalian semua tumbuh minus. Prestasi ini mengulang rekor pada triwulan II-2020: saat ekonomi -5,03 persen, pertanian tetap tumbuh 2,19 persen.
Untuk kesekian kalinya, kala krisis atau resesi, pertanian menjadi penyelamat ekonomi bangsa. Mengapa? Pangan adalah kebutuhan primer dan esensial. Kebutuhan ini tidak bisa ditunda saat pandemi atau normal.
Bahkan, saat pandemi dianjurkan untuk menyantap makanan bergizi, yang bisa mendongkrak imunitas tubuh. Ini sebagai benteng melawan Covid-19.
Selain itu, mengacu pada piramida Abraham Maslow, konsumen kini bahkan telah menggeser kebutuhan mereka dari mengejar puncak piramida, yakni aktualisasi diri dan esteem ke dasar piramida, yakni makan, kesehatan, dan keamanan jiwa-raga.
Karena itu, jikapun tahun 2021 ekonomi belum sepenuhnya pulih, bisa dipastikan permintaan terhadap produk pertanian, termasuk produk unggas, seperti broiler dan telur (ayam buras, ras petelur, itik, itik manila, dan puyuh), tetap tidak tergantikan.
Namun, industri perunggasan, terutama daging ayam, pada 2021 masih rentan guncangan. Pertama, surplus produksi masih berlanjut.
Yang menggembirakan, di tengah pandemi, usaha perunggasan yang semula belum masif seperti broiler, kini kian berkembang, seperti ternak ayam kampung dan puyuh.
Catatan Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia, pandemi telah mendorong usaha pembibitan ayam kampung. Juga pemasaran yang inovatif, yaitu membangun outlet, gerai, atau reseller secara daring. Diyakini, satu hingga dua tahun ke depan akan berdiri usaha berskala besar.
Namun, industri perunggasan, terutama daging ayam, pada 2021 masih rentan guncangan. Pertama, surplus produksi masih berlanjut.
Merujuk outlook Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian (2020), tahun 2021 diperkirakan suplus 344.967 ton daging ayam (9,8 persen dari kebutuhan). Ini perkiraan sebelum Covid-19.
Angka mutakhir yang dirilis saat Rembug Perunggasan Nasional pada 10 Desember 2020, surplus produksi daging ayam pada Desember 2020 diperkirakan 18,7 persen. Sementara surplus telur ras pada 2021 (Kementan, 2020) mencapai 119.852 ton (2,4 persen).
Surplus ini adalah hasil perencanaan produksi 1,5-2 tahun lalu. Cara cutting dipastikan tidak menghentikan atau mengurangi produksi mendadak guna menyesuaikan dengan permintaan.
Kedua, daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih. Akibatnya, hasil produksi pertanian, termasuk unggas, tidak seluruhnya terserap pasar. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat kapasitas operasi usaha hanya minimal.
Padahal, mereka ini yang menyerap produksi petani atau peternak. Akhirnya, terjadi diskoneksi supply-demand. Selain produk aneka sayuran, produk peternakan, baik telur maupun daging ayam, juga bernasib sama.
Hasil pertanian atau peternakan yang tak terserap pasar membuat petani atau peternak kehabisan modal berproduksi pada musim berikutnya. Harga produk peternakan konsisten menurun empat bulan berturut-turut, Juli-Oktober 2020. Anjloknya harga kedua produk subsektor pertanian ini memberi andil besar terjadinya deflasi tiga bulan beruntun, Juli-September 2020.
Selain itu, memberi andil inflasi Oktober yang rendah, 0,07 persen. Kenaikan harga baru terjadi pada November. Deflasi beruntun pertanda terjadi depresi. Ini sinyal buruk karena taruhannya adalah kontinuitas produksi pangan atau ternak.
Hasil pertanian atau peternakan yang tak terserap pasar membuat petani atau peternak kehabisan modal berproduksi pada musim berikutnya. Jika mereka berhenti produksi dan terjadi dalam skala luas dan masif, tentu berujung pada ancaman ketersediaan pangan bagi 273 juta warga.
Jadi, dalam perang melawan penyebaran korona, bukan hanya dokter, perawat, dan tenaga medis yang berada di garis terdepan, melainkan petani juga menjadi ujung tombak bangsa guna menjamin ketersediaan pangan.
Tahun 2021, pemerintah masih mengalokasikan anggaran besar untuk mitigasi pandemi. Anggaran kesehatan Rp 168,71 triliun dan perlindungan sosial Rp 421,71 triliun. Ada baiknya, sebagian anggaran pemulihan ekonomi nasional 2021 dialokasikan untuk menolong petani atau peternak.
Maka itu, kedua, sembari menyelesaikan solusi jangka pendek, pemerintah dan otoritas pengawas persaingan usaha mesti fokus mendesain solusi jangka panjang.
Seperti warga lain, petani atau peternak perlu perlindungan dan jaminan. Tahun 2020, anggaran pemulihan ekonomi nasional mencapai Rp 695 triliun. Tapi, tak sepeser pun anggaran ini mengalir khusus ke petani atau peternak. Ini mestinya tak terulang.
Karena itu, perlu segera dibuat aneka langkah guna melindungi petani atau peternak. Pertama, cara cutting dan afkir dini seperti saat ini, hanya menolong dalam jangka pendek. Ibarat memadamkan kebakaran, api memang padam, tapi sumber api setiap saat tetap mengancam.
Maka itu, kedua, sembari menyelesaikan solusi jangka pendek, pemerintah dan otoritas pengawas persaingan usaha mesti fokus mendesain solusi jangka panjang, menuntaskan integrasi hulu-hilir yang fokus daya saing. Ini penting sebagai bagian dari antisipasi masuknya daging ayam dari Brasil.
Sampai saat ini, preferensi konsumen masih membeli daging segar, bukan beku. Jika harga karkas bisa dijaga pada level kompetitif, hampir pasti sulit bagi daging ayam dari Brasil merebut pasar daging ayam di negeri ini. (sumber: republika/khudori)