Waspada Ancaman Epidemi Penyakit Zoonosis Nipah

agropustaka.id, Kabar. Memperhatikan jumlah kasus orang tertular penyakit nipah di Malaysia, Bangladesh, dan India, penularan penyakit ini jauh lebih lambat dibandingkan dengan Covid-19 meskipun angka kematian (CFR) penyakit nipah jauh lebih tinggi. Kewaspadaan tinggi pada orang yang hobi makan kelelawar dan babi.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan meminta kewaspadaan semua pihak terhadap ancaman virus nipah dari Malaysia. Wabah penyakit nipah pada orang telah ditemukan di Malaysia, Bangladesh, dan India. Untuk menakar peluang terjadi epidemi penyakit nipah di Indonesia, perlu kita simak beberapa hal di bawah ini.

Penyakit nipah pertama kali ditemukan di Perak, Malaysia (1998). Penyakit ini diawali kematian babi dalam jumlah banyak. Tidak berselang lama, ditemukan penyakit pada pekerja kandang babi. Mudah diterka, pekerja kandang tertular penyakit dari babi.

Karena penyakit ini diduga baru, Pemerintah Malaysia segera menjalin kerja sama dengan laboratorium Australian Animal Health Laboratory (AAHL), WHO Colaborating Centre for Tropical Diseases, Jepang, dan CDC Amerika.

Penyebab penyakit berhasil diidentifikasi sebagai virus baru, virus nipah, termasuk genus Henipavirus, famili Paramyxoviridae. Dalam genus Henipavirus ada virus hendra, yang menulari kuda dan manusia di Australia (1994).

Antara September 1998 dan Mei 1999 ditemukan 265 orang tertular virus nipah, 105 di antaranya meninggal (tingkat kematian/CFR 39,6 persen), dengan gejala radang otak akut (acute encephalitis) (J Clin Virol, 2003). Di antara orang yang tertular terdapat petugas eliminasi babi, yang diduga tidak mengenakan alat pelindung diri (APD). Untuk menghentikan penyebaran penyakit, Pemerintah Malaysia mengeliminasi sekitar 1 juta babi.

Penyidikan lebih lanjut mengungkapkan bahwa reservoir alami virus adalah kelelawar famili Pteropodidae. Wilayah penyebaran kelelawar ini mulai dari bagian timur dan utara Australia, ke utara sampai Asia Tenggara, ke barat sampai India dan Mauritius. Diduga kelelawar ini memakan buah-buahan, kemudian sisanya yang tercemar air liur jatuh, dimakan babi, sehingga menimbulkan penyakit parah pada babi.

Ancaman epidemi

Selain di Malaysia, penyakit nipah ditemukan di Bangladesh (1998). Penularan terjadi melalui minuman lokal (sejenis arak) dari buah palma dan karena memakan buah yang sebelumnya digigit kelelawar. Antara 2001 dan 2018 ditemukan 211 orang meninggal karena penyakit nipah dengan CFR bervariasi sekitar 70 persen.

Di India, penyakit nipah ditemukan pada orang di Kerala (2018), jumlah kasus 19, meninggal dunia 17. Disebutkan ada penularan di rumah sakit (nocosomial infection).

Wabah atau epidemi penyakit nipah di Indonesia sebenarnya hanya soal waktu. Survei serologis oleh Indrawati Sendow dan kawan-kawan dari Balitvet Bogor terhadap kelelawar, dengan teknik ELISA, menunjukkan adanya antibodi terhadap virus nipah di Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Jawa Barat, dan Jawa Timur, tetapi tidak ditemukan antibodi pada babi.

Temuan tersebut dipublikasi dalam Emerging Infectious Disease (Sendow dkk, 2006) dan beberapa jurnal lain. Di samping itu, juga dilakukan deteksi virus nipah dengan teknik RT-PCR yang menunjukkan adanya virus nipah pada kelelawar (Sendow dkk, 2009, Zoonosis and Public Health).

Temuan ini menggambarkan virus nipah tersebar endemik pada kelelawar, tetapi belum ditemukan ada pada babi. Apabila virus nipah menulari babi, ini akan terjadi kematian dalam jumlah banyak (wabah), kemudian menulari manusia, seperti halnya di Malaysia.

Wilayah dengan populasi babi banyak, seperti Sumatera Utara, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Barat, kemungkinan menjadi wilayah tertular lebih dulu. Wilayah dengan populasi babi sedikit atau tanpa peternakan babi dapat tertular melalui orang yang memakan buah, misalnya mangga sisa gigitan kelelawar. Di samping itu, penularan bisa melalui minuman tuak atau air sumur yang tercemar urine kelelawar, diminum tanpa perebusan.

Memperhatikan jumlah kasus orang tertular penyakit nipah di Malaysia, Bangladesh, dan India, penularan penyakit ini jauh lebih lambat dibandingkan dengan Covid-19 meskipun CFR penyakit nipah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Covid-19. Sejauh ini, penyebaran penyakit nipah hanya terbatas sehingga sulit menimbulkan pandemi.

Kewaspadaan tinggi

Petugas kesehatan hewan lapangan perlu mengetahui tanda klinis babi terinfeksi virus nipah. Tanda klinis yang menonjol pada anak babi berupa gangguan kesulitan bernapas sehingga mulut terbuka. Adapun pada babi dewasa, gejala saraf, berupa kelumpuhan kaki belakang, otot gemetaran, dan lain-lain.

Kematian babi dalam jumlah banyak harus dibedakan dari African swine fever (ASF), yang telah merebak di sejumlah tempat di Indonesia. Masyarakat dianjurkan tidak memakan buah dari sisa dimakan kelelawar, atau malah memakan kelelawar atau babi.

Apabila pada waktu berdekatan ada petugas kandang atau pemotong babi yang tertular, ini lebih mengarah pada penyakit nipah karena ASF tidak menular ke manusia. Untuk melakukan otopsi, petugas kesehatan hewan (dokter hewan) dianjurkan memakai alat perlindungan diri (APD).

ap/sumber: soeharsono, mantan penyidik penyakit hewan (kcm)