Agropustaka.id, Kabar. Bakteri resisten antibiotik ditemukan pada sampel ayam dari Charoen Phokpand, Japfa dan Suja, kesehatan masyarakat menjadi berisiko diduga akibat tata kelola kesejahteraan ternak yang rendah.
Bakteri resisten antibiotik ditemukan pada sampel ayam dari Rumah Potong Unggas (RPH-U) PT Ciomas Adisatwa, serta retail yang memasarkan produk ayam Charoen Pokphand, Japfa dan Suja. Hal ini mengindikasikan adanya penggunaan antibiotik kepada ayam di peternakan. Antibiotik diberikan secara rutin di peternakan pabrik (factory farm), diharapkan dapat menutupi rasa sakit dan stres yang dialami hewan ternak. Adanya bakteri resisten dalam produk yang dikonsumsi publik ini meningkatkan risiko kesehatan masyarakat akibat tata kelola kesejahteraan hewan yang rendah.
Temuan studi ini dipublikasikan dalam laporan studi berjudul ”Resistensi Antimikroba dalam Rantai Pangan Ayam Potong” yang dilakukan oleh World Animal Protection dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), bekerja sama dengan Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS). Penelitian studi ini dilakukan dengan mengambil sampel dari RPH-U dan gerai di Kabupaten Bogor, dengan wilayah distribusi ke Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.
Di industri peternakan, hewan-hewan dikurung berdesak-desakan dan hal ini menyebabkan hewan sangat menderita dan menyebabkan sakit. Penggunaan antibiotik secara berlebihan pada akhirnya menyebabkan timbulnya bakteri yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik, yang diduga kemudian dapat mengontaminasi rantai makanan manusia.
Krisis bakteri resisten ini menimbulkan ancaman yang dapat melampaui pandemi. Sebanyak 700.000 orang meninggal setiap tahunnya di dunia akibat antibiotik yang tidak lagi dapat bekerja secara efektif dalam mengobati infeksi akibat adanya bakteri resisten ini. Pada tahun 2050 nanti, diperkirakan sebanyak 10 juta orang meninggal akibat bakteri resisten.
Di Indonesia, pada tahun 2020, sebanyak 761,27 ton antibiotik diberikan kepada hewan dan jumlah ini diperkirakan mencapai 913,94 ton pada tahun 2030. Meski tidak ada perkiraan formal secara nasional, jumlah resistensi antimikroba ini diperkirakan tinggi dan terus meningkat. Indonesia termasuk satu dari lima negara dengan proyeksi peningkatan persentase terbesar dalam penggunaan antimikroba pada tahun 2030.
Hasil uji 120 sampel pada studi ini menunjukkan bahwa sampel sekum yang berada di RPH-U yang dioperasikan oleh PT Ciomas Adisatwa/Japfa mengandung bakteri E. coli yang resisten terhadap lima jenis antibiotik yang diuji, yaitu Meropenem, Sulfamethoxazole, Colistin, Ciprofloxacin and Chloramphenicol. Sementara sampel karkas yang diambil dari gerai PrimaFreshMart/Charoen Phokpand ditemukan mengandung Sulfamethoxazole dengan tingkat resistensi yang tinggi dibanding dengan Ciprofloxacin dan Chloramphenicol yang juga ditemukan pada sample karkasnya. Sementara itu sampel karkas dari Suja (Super Unggas Jaya), ditemukan bakteri resisten tinggi terhadap Ciprofloxacin dan Kolistin. Namun tidak ditemukan bakteri yang resisten terhadap Meropenem pada sampel karkas di retail.
Antibiotik-antibiotik yang dipilih dalam studi resistensi ini merupakan antibiotik yang diklasifikasikan oleh World Health Organisation (WHO) sebagai antibiotik pilihan terakhir dalam pengobatan manusia. Antibiotik tersebut di antaranya digunakan untuk pengobatan akibat infeksi seperti infeksi telinga tengah, saluran pernapasan, lapisan perut, saluran kencing, saluran pencernaan, mata, atau infeksi kulit yang parah. Sehingga ketika bakteri resisten ini ditularkan dari ternak ke manusia, maka akan mengurangi kemampuan antibiotik untuk mengobati penyakit, memperpanjang pengobatan dan meningkatkan risiko kematian manusia.
Hasil uji ini juga mengindikasikan bahwa perusahaan masih menggunakan antibiotik-antibiotik tersebut, meski Pemerintah Indonesia telah melarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (growth promoter) melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 Tahun 2017 dan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 09160/PK.350/F/12/2019.
Namun, ancaman kontaminasi bakteri resisten ini dapat dihindari dengan menerapkan tata kelola kesejahteraan ternak yang lebih baik (higher farm animal welfare). Praktik ini menerapkan prinsip di mana ternak diternakkan, dikirim dan dipotong sesuai dengan standar yang ditetapkan dalam Farm Animals Responsible Minimum Standards (FARMS). Ketentuan tersebut di antaranya area ternak yang mendukung stimulasi dan perilaku natural ternak, penyediaan pakan sehat, serta mendorong pertumbuhan yang sesuai, sehingga dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan ternak. Hal ini akan mengurangi penggunaan antibiotik dan menurunkan risiko terhadap kesehatan manusia.
Rully Prayoga, Campaign Manager, World Animal Protection menyampaikan, “hasil penelitian menggambarkan bahwa sampel ayam yang berasal dari peternakan dengan tata laksana kesejahteraan hewan yang rendah (low welfare) terkontaminasi dengan bakteri resisten. Bakteri resisten ini dapat menyebar baik melalui kontak langsung atau tidak langsung, ke pakan ternak, air dan limbah ternak di lingkungan kandang dan manusia.”
Ia menyerukan kepada pemerintah untuk melarang penggunaan antibiotik secara rutin untuk mencegah penyakit dan mendorong pertumbuhan ternak, serta memastikan industri peternakan berkomitmen untuk memenuhi standar kesejahteraan ternak. Kami juga mendorong para pelaku rantai pangan, termasuk produsen, ritel dan restoran cepat saji untuk berkomitmen menerapkan prinsip kesejahteraan ternak yang tinggi, sehingga dapat menghindari meluasnya kontaminasi bakteri resisten antibiotik.
Jacqueline Mills, Head of Farming, World Animal Protection mengatakan, “ayam merupakan jenis hewan yang paling banyak diternak. Lebih dari 60 miliar ayam di seluruh dunia dipelihara dan dipotong setiap tahunnya. Lebih dari dua pertiga ayam tersebut diternak di dalam ruangan dengan perlakuan intensif, yang biasanya memiliki tingkat kepadatan yang tinggi, lingkungan yang tidak sehat dan tanpa cahaya alami.”
Keadaan ini semakin diperburuk dengan upaya genetika. Kombinasi pertumbuhan yang cepat dan lingkungan indoor tersebut, ditambah dengan penggunaan antibiotik yang tidak bertanggung jawab, mengindikasikan tata kelola kesejahteraan ternak yang rendah, yang menyebabkan ternak mengalami masalah kesehatan serius dan meningkatkan risiko kesehatan manusia.
WHO merekomendasikan bahwa antibiotik tidak boleh tidak boleh digunakan secara rutin untuk mencegah penyakit pada ternak. Meski demikian, praktik tersebut tetap dilakukan dengan luas di peternakan pabrik, di mana sebanyak 75% antibiotik di dunia digunakan pada ternak.
Namun, perusahaan juga bisa menjadi bagian dari solusi. Ternak dapat dipelihara dengan sukses dan menguntungkan tanpa penggunaan antibiotik secara rutin, tetapi cara tersebut harus didukung dengan meningkatkan standar kesejahteraan hewan (higher farm animal welfare). Pada akhirnya, hal ini akan meningkatkan kesehatan ayam dan menurunkan risiko kesehatan masyarakat.
Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mengatakan, “hasil studi ini menujukkan bahwa kontaminasi bakteri resisten terhadap antibiotik dapat terjadi di tiap tahapan dalam rantai pangan. Kami menuntut para produsen dan ritel untuk mematuhi regulasi praktik penggunaan antibiotik. Kami juga meminta pemerintah untuk meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan antibiotik dan resistensinya di peternakan, serta meningkatkan pembinaan terhadap unit usaha tentang penerapan kesejahteraan ternak yang baik. Karena konsumen berhak mendapatkan daging yang sehat dan aman untuk dikonsumsi.
YLKI dalam siaran pers-nya tersebut menyatakan telah berdiskusi dengan perusahaan, dan mereka mengatakan bahwa mereka akan meningkatkan pemantauan mereka dan akan mengurangi profilaksis yang digunakan antibiotik di peternakan mereka untuk memastikan tidak ada lagi penemuan resistensi antimikobakteri dalam sistem rantai pasokan mereka. Dan publik harus memantau pernyataan ini dari waktu ke waktu. Dan YLKI berharap mereka juga membawa komitmen pada kesejahteraan yang tinggi sebagai solusi jangka panjang.
Namun demikian, dengan temuan semacam ini YLKI mengimbau masyarakat konsumen di Indonesia untuk tidak takut mengonsumsi daging ayam. Bagaimanapun, daging ayam sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani yang sangat dibutuhkan bagi kesehatan manusia. Apalagi di Indonesia masih sangat tinggi balita yang mengidap stunting, sedangkan asupan protein hewani yang cukup akan efektif sebagai upaya untuk memerangi stunting. Oleh karena itu, pemerintah harus menjamin bahwa daging ayam yang dikonsumsi adalah daging ayam yang aman dan sehat bagi konsumen sebagai pengguna akhir daging ayam. (AP/YLKI)
Simak di sini siaran tunda Siaran Pers “Laporan Lengkap YLKI: Penemuan Bakteri Kebal Antibiotik pada Produk Pangan Ayam Broiler’ >> https://youtu.be/rH8fpofnBL4