Banyaknya sampah organik yang pemanfaatannya kurang optimal bahkan sering dibuang sembarangan, menyebabkan ketidaknyamanan yang ditimbulkan akibat adanya tumpukan sampah. Untuk menekan hal itu, perlu adanya pengelolaan sampah organik yang baik, salah satunya adalah dengan metode biokonversi maggot.
Adalah para mahasiswa UGM yang mengenalkan metode biokonversi maggot kepada kelompok wanita dalam mengolah limbah organik rumah tangga menggunakan Black Soldier Fly Larvae di kampung Pedak RT 14/ RW 06, Karangbendo, Desa Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Program ini menggunakan Black Soldier Fly Larvae karena larva BSF dapat menguraikan sampah organik dengan cepat. Selain itu, maggot BSF juga memiliki kandungan protein cukup tinggi sebagai pakan tambahan pada ternak. Oleh karena itu, pemanfaatan maggot BSF tidak hanya berhenti sebagai pengurai limbah organik saja, tetapi juga memiliki manfaat yang berkelanjutan.
Pengelolaan limbah organik rumah tangga berbasis pemberdayaan kelompok wanita ini dilaksanakan oleh Arifa Zaini Syafhira (Fapet UGM) selaku ketua, Nabila Azizah (Fapet UGM), Faaris Satrya Dharmawan (Fisipol UGM), dan Hanna Priyo Cahyono (Fapet UGM) sebagai anggota melalui Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Pengabdian Masyarakat (PKM-PM) UGM dan telah memperoleh sumber dana dari Kemendikbud Ristek.
Arifa memaparkan bahwa awal munculnya ide pengelolaan limbah organik oleh kelompok wanita berasal dari banyaknya sampah organik yang pemanfaatannya kurang optimal bahkan sering dibuang sembarangan. Selain itu, adanya ketidaknyamanan yang ditimbulkan akibat adanya tumpukan sampah membuatnya tergerak untuk turun tangan bersama dengan timnya mengatasi permasalahan yang ada.
“Sampah organik sisa makanan kurang mendapat perhatian untuk dikelola. Banyak masyarakat hanya memberikan sisa makanan mereka ke ayam-ayamnya, bahkan tak jarang dibiarkan menumpuk atau hanya membuang sampah makanannya begitu saja. Padahal tanpa mereka sadari, sampah itu bisa lebih bermanfaat jika dikelola lebih lanjut. Pemilahan sampah organik sisa makanan bisa dimulai dari skala rumahan, yang mana Ibu-ibu merupakan tokoh utama yang kerap melakukan pekerjaan dapur.”
Arifa juga menambahkan bahwa sisa makanan yang mereka buang setiap hari bisa dimanfaatkan sebagai pakan maggot. Sedangkan maggotnya bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak berprotein tinggi serta bernilai ekonomis.
“Saat ini, maggot sedang naik daun karena banyak penelitian yang membuktikan bahwa maggot BSF memiliki kandungan protein yang baik untuk ternak. Sisa-sisa makanan seperti nasi basi, makanan yang tak habis dimakan, sayur dan buah yang busuk bisa dimanfaatkan jadi pakan maggot BSF. Setelah itu, maggot BSF yang dibudidayakan itu bisa dijual sehingga bisa menambah pendapatan,” ujarnya.
Selanjutnya, ia menerangkan bahwa proses pembudidayaan maggot ini cukup mudah dan tidak memakan lahan serta waktu yang lama. Sehingga, dapat dilakukan di lahan sempit oleh segala kalangan dan tidak membutuhkan pendalaman pengetahuan khusus. Jadi, pembudidayaan maggot ini bisa dilakukan oleh orang awam.
“Maggot itu daur hidupnya cepat dan mudah dikembangbiakkan. Tidak perlu lahan yang luas dan bisa dimulai dari skala rumahan. Apabila dibudidayakan, maggot siap panen hanya dalam dua minggu. Sebanyak 5 gram telur maggot bisa menghasilkan sampai 7 kg maggot siap panen. Harga pasarannya pun terbilang tinggi, mencapai dua puluh ribu per kilonya dan maggot kering lebih dari lima puluh ribu,” terangnya.
Sementara itu, Prof. Dr. Ir. Lies Mira Yusiati, SU., IPU, ASEAN Eng. selaku dosen pembimbing tim pemberdaya kelompok wanita dalam mengelola limbah rumah tangga dengan larva BSF menambahkan bahwa program ini bisa menjadi alternatif solusi permasalahan sampah organik yang menumpuk di lingkungan masyarakat. Selain itu, pengelolaan sampah organik sisa makanan yang dilanjutkan dengan program budidaya maggot juga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan ekonomi warga. ap/ugm/satriya