agropustaka.id, Pemikiran. Munculnya kembali virus penyakit mulut dan kuku (PMK) di daerah yang tidak ada lagi kasus, harus menjadi perhatian. Ini mengindikasikan wabah PMK bisa berulang dan membuat lompatan tak terduga. Penting lakukan surveilans bebas infeksi PMK.
Wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) yang terjadi saat ini di Indonesia bisa dikategorikan sebagai wabah skala luas, meski tak sehebat wabah PMK di Taiwan (1997) dan Inggris (2001).
Sebanyak 24 provinsi telah dilaporkan tertular dan beberapa spesies telah dinyatakan terinfeksi seperti sapi, kambing, domba dan babi. Dalam waktu tiga bulan, April sampai awal September 2022, dilaporkan jumlah hewan sakit mencapai lebih dari setengah juta ekor.
Kerugian mencapai miliaran rupiah ketika para peternak tak lagi bisa menjual ternaknya, ternak sakit harus dipotong bersyarat, dan pasar-pasar hewan ditutup untuk jangka waktu tertentu. Angka kematian hewan karena PMK memang rendah, tetapi penyakit ini memiliki sifat penularan luar biasa cepat dan virus mampu bertahan di lingkungan apapun.
Banyak negara di dunia belum mampu keluar dari masalah setelah berpuluh tahun berperang melawan PMK. Indonesia mungkin saja bernasib sama apabila mengabaikan kaidah teknis terutama mengenai konsep infeksi virus PMK dan kompleksitas masalah vaksin dan vaksinasi yang belum tentu sama dengan penyakit hewan atau penyakit manusia lainnya.
Koordinasi penanganan
Sesuai instruksi Presiden, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengambil alih komando penanganan wabah PMK. BNPB membentuk Satuan Tugas Pengendalian PMK di setiap provinsi dan kabupaten/kota tertular. Koordinasi diperlukan untuk bisa melakukan rantai instruksi dari pusat ke daerah dan mempercepat operasional pengendalian sampai ke daerah.
Suatu hierarki yang tak dimiliki Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagai lembaga pemerintah yang bertanggung jawab dalam urusan kesehatan hewan di negara ini. Kebijakan desentralisasi menimbulkan hierarki kewenangan yang beragam di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Indonesia adalah negara besar dengan ribuan pulau, kaya akan flora dan fauna, dan masyarakat yang berbeda dan kompleks, suatu situasi yang menimbulkan banyak tantangan dalam memberikan layanan kesehatan hewan yang memadai.
Dalam strategi global pengendalian PMK yang disusun Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dan Badan Kesehatan Hewan Dunia (WOAH), dinyatakan bahwa pengendalian PMK di suatu negara harus berjalan seiring perbaikan layanan kese -hatan hewan. Dengan demiki -an negara akan punya kemungkinan yang lebih baik, terutama dalam mengendalikan penyakit menular utama pada ternak.
Indonesia jelas kekurangan dokter hewan, selain ketidakpastian perannya di tingkat daerah. Pejabat pemerintah berwenang atau pejabat otoritas veteriner belum tentu ada di setiap daerah, meskipun diamanatkan dalam peraturan perundangan.
Penanganan terkoordinasi menghadapi bencana non-alam seperti wabah PMK merupakan pengalaman baru dalam penanggulangan penyakit hewan menular di Indonesia dan hal positif untuk mempercepat penanganan kasus. Terutama urusan seperti pengawasan penutupan (lockdown) daerah wabah maupun pelaksanaan pemusnahan ternak terinfeksi PMK.
Pemotongan bersyarat adalah salah satu dari empat strategi terkoordinasi yang digunakan, selain biosekuriti, vaksinasi, dan pengobatan. Namun, satu hal yang harus dicermati pada saat hewan sakit, virus PMK keluar melalui seluruh cairan tubuh hewan seperti cairan hidung, air liur, urin, feses, air susu, sehingga lingkungan mudah terkontaminasi secara luas dan ini bisa melipatgandakan risiko penyebaran penyakit.
Virus berada dalam jaringan otot hewan saat dipotong, terutama saat hewan sakit atau menunjukkan gejala klinis. Pada pemotongan bersyarat, virus mampu bertahan hidup dalam berbagai kondisi di luar tubuh induk semang, menyebabkan penularan sulit dikendalikan.
PMK vs Covid-19
Penggunaan strategi penanganan Covid-19 untuk mengendalikan wabah PMK merupakan suatu hal yang belum tentu selalu tepat, dilihat dari konsep infeksi virus dan epidemiologi yang berbeda antara PMK dan Covid-19.
Meski sama-sama virus RNA, PMK mampu menyerang banyak spesies mulai dari hewan berkuku belah sampai lebih dari 70 spesies satwa liar, terutama berkuku genap. Tingkat kerentanan antar spesies tersebut berbeda. Covid-19 hanya menyerang satu spesies: manusia.
Pendekatan diagnosa dalam pengendalian PMK tidak sama dengan Covid-19. Apabila PMK dicurigai di suatu daerah, maka hewan yang menunjukkan gejala klinis harus segera diambil sampelnya dan dikonfirmasi dengan uji laboratorium.
Hewan dengan gejala klinis yang sama dan sangat menciri di daerah yang sama, tidak perlu lagi dilakukan uji laboratorium. Pelaporan gejala klinis sudah dapat memberikan tingkat kepercayaan yang tinggi mengenai ada tidaknya infeksi PMK.
Suatu artikel yang ditulis oleh ahli PMK dunia (2020) mencatat adanya kesamaan maupun perbedaan yang relevan antara pengendalian PMK dan Covid-19. Ada banyak hal yang bisa menjadi pembelajaran dari kedua penyakit ini. Tindakan-tindakan rutin yang digunakan untuk penyakit hewan, jarang sekali digunakan untuk penyakit manusia. Contohnya pembatasan pergerakan dan peningkatan biosekuriti yang kemudian mulai dipraktikkan pada pandemi Covid-19.
Meski sama-sama virus RNA, PMK mampu menyerang banyak spesies mulai dari hewan berkuku belah sampai lebih dari 70 spesies satwa liar, terutama berkuku genap.
Sulit diberantas
Sejak lama, para profesional kesehatan hewan di seluruh dunia dan banyak pemangku kepentingan dan konsumen lainnya telah menyatakan keprihatinan atas kesulitan teknis dan politik serta biaya untuk memberantas PMK. Terlebih pada saat status negara berubah dari wabah menjadi endemik.
Salah satu langkah penting untuk mencegah dampak ekonomi dan kerugian peternak adalah memvaksinasi ternak yang rentan. Namun, vaksin harus benar-benar cocok dengan galur (strain) lapang yang dibuktikan dengan pengujian oleh Laboratorium Referensi Dunia di Pirbright, Inggris. Juga, masa proteksi vaksin yang umumnya berumur pendek, sekitar 12 bulan atau kurang
Meskipun vaksin PMK telah tersedia selama lebih 70 tahun, pencegahan hanya berhasil di wilayah terbatas di dunia. Menurut Laboratorium Referensi Dunia, strain-strain virus PMK yang bersirkulasi di dunia terbagi jadi tujuh kelompok besar. Virus PMK Indonesia masuk kelompok 1 yaitu kelompok Asia Tenggara dan Asia Timur.
Pemerintah perlu membatasi jenis vaksin yang digunakan untuk bisa menyusun strategi vaksinasi yang efektif. Mempertahankan tingkat vaksinasi dan kekebalan kelompok yang tinggi dalam populasi ternak merupakan tantangan besar. Ini membutuhkan sistem identifikasi ternak yang canggih, manufaktur vaksin yang modern dan pengiriman vaksin dengan rantai dingin yang sistematis.
Jika Indonesia ingin kembali mendapatkan status bebas PMK seperti 1990, maka penting dilakukan surveilans untuk membuktikan tak ada lagi infeksi atau tak ada lagi sirkulasi virus. Pembuktian harus dilakukan untuk menilai apakah vaksinasi massal bisa dihentikan dalam proses pemberantasan menuju upaya bebas virus.
Munculnya kembali virus PMK di daerah yang tidak ada lagi kasus, harus menjadi perhatian serius. Ini mengindikasikan wabah PMK bisa berulang dan membuat lompatan tak terduga. Sering kali melalui perdagangan dan pergerakan manusia, hewan, dan produk hewan. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk kewaspadaan yang berkelanjutan.
ap/kcm/Tri Satya Putri Naipospos, Ketua Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Karantina Hewan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian