agropustaka.id, Kabar. Dalam beberapa dekade ke belakang, industri perunggasan nasional berkembang begitu pesat. Industri ini telah bertransformasi menjadi usaha yang strategi dengan berbagai dukungan teknologi yang canggih dan mutakhir pada semua rantai produksinya. Namun, di balik perkembangannya yang begitu pesat, telah terjadi banyak ketimpangan antara perusahaan dan peternak rakyat. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB (PSP3IPB) Prof Dr. Muladno dalam sebuah ajang webinar Indonesia Livestock Club (ILC) belum lama ini.
Ia memaparkan bahwa hal ini diperparah dengan jalur distribusi penjualan pada ayam yang masih panjang dan sangat konvensional. Di sisi lain, hal yang cukup mengherankan adalah fenomena tata niaga tersebut berlaku sama untuk peternak rakyat maupun perusahaan peternakan. Artinya pasar yang sama diperebutkan dengan pelaku usaha yang skalanya sangat jauh berbeda, sehingga kompetisinya tidak berimbang, dan membuat peternak banyak berguguran. Belum lagi berbicara tentang persoalan akurasi dan sinkronisasi data produksi ayam yang telah terjadi sejak 20 tahun lalu dan masih belum terselesaikan hingga sekarang. Menurutnya hal ini dikarenakan adanya krisis kepercayaan antar stakeholder perunggasan.
“Setelah kami terus amati dan pelajari, berbagai persoalan perunggasan ini disebabkan oleh pelaku usaha perunggasan yang masih berjalan sendiri-sendiri dan hanya mementingkan dirinya masing-masing. Di sisi lain, model bisnis perunggasan non-perusahaan semacam ini sudah tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi. Jadi para peternak kecil ini harus mulai bertransformasi dan menjadi perusahaan. Apakah bisa? Ya bisa, asalkan yang kecil-kecil harus berhimpun dan bersatu. Karena peternak kecil tidak akan mungkin mampu bertanding dengan yang besar kalau sendiri-sendiri. Ini lah yang seringkali saya sebut perusahaan kolektif gotong royong,” jelasnya.
Muladno menegaskan bahwa semua bisnis ayam mestinya harus dijalankan berbasis perusahaan kolektif gotong royong. Karena usaha ini adalah industri, sehingga tidak bisa peternak berjalan sendiri-sendiri. Dari hal tersebut, dirinya mempunyai gagasan terkait sistem integrasi horizontal industri ayam (SINTHIA-Pedaging) yang menurutnya harus mulai dibangun. Pasalnya permasalahan perunggasan ini tidak bisa diselesaikan secara reaktif dan instan. Harus dengan sebuah sistem yang dijalankan secara berkesinambungan.
“SINTHIA Pedaging yang saya gagas ini, kuncinya ada pada perusahaan ayam kolektif gotong royong. Boleh berbentuk koperasi atau jenis lain, asalkan bersatu. Nah kalau sudah bersatu, integrasi horizontalnya dengan perusahaan PS dan feedmill. Nah semua ini harus bekerja sama dengan kompak, sehingga bisa bersaing dengan yang besar-besar. Kemudian untuk menjawab persoalan tata niaga, perusahaan kolektif gotong royong ini perlu menggandeng RPHU dan cold storage. SINTHIA Pedaging ini bisa berjalan apabila Perguruan Tinggi dan Pemerintah Kota/Kabupaten ikut serta aktif untuk mendampingi integrasi horizontal ini. Sistem ini bisa skala kecamatan atau kabupaten, yang penting bagaimana keterjangkauan peternak ini bisa bersatu.
Membangun sistem ini menjadi tantangan yang sulit. Tapi bisa! Hal ini sudah terbukti dengan penerapan konsep SPR atau Sekolah Peternakan Rakyat,” tambah Muladno.
Ia menandaskan, penyelesaian jangka pendek perunggasan melalui cara bernuansa “pemadam kebakaran” tidak akan pernah berhasil. Hal ini harus diselesaikan dengan membangun sebuah sistem. Di mana SINTHIA Pedaging berbasis konsep SPR merupakan alternatif yang realistis dan futuristik. ap