Agropustaka.id, Kabar. permasalahan pakan sapi ke depan adalah pada teknologi pasca panennya. Untuk itu, sangat diperlukan adanya strategi pengelolaan hijauan pakan untuk ketahanan pakan ternak ruminansia. Terlebih semakin hari kebutuhan pakan ternak kian meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk. Namun karena terdapat isu akses dan harga, pemakaian bahan pakan di industri ikut menurun karena kurangnya ketersediaan.
Menurut Guru Besar Fapet IPB Prof Nahrowi dalam sebuah webinar tentang pakan hijauan untuk sapi pada beberapa waktu lalu, formulator memerlukan strategi khusus untuk mencari bahan pakan jagung sebagai hijauan. Harus diwaspadai juga bahwa jagung sebagai pakan ternak harus menguntungkan bagi petani. “Saya jelaskan bahwa ini perlu aturan, perlu arahan agar nanti jangan semuanya ke arah hijauan karena kebutuhannya memang besar,” jelas Nahrowi.
Ia menjelaskan bahwa harus ada upaya harmonisasi agar petani dan peternak sama-sama untung. Jagung merupakan sumber pakan yang sangat berkualitas namun terjadi penurunan penggunaannya. Kunci pemakaian bahan pakan yang harus diperhatikan yakni jaminan kualitas, ketersediaan dan jaminan harga. Peternak akan lebih tahan banting bila menggunakan bahan pakan lokal ketimbang impor.
“Pertama ketersediaan dulu. Bagaimana kita bisa menyediakannya secara berkesinambungan dengan harga yang bersaing dan kualitas di setiap peternak itu punya standar untuk membeli jagung tadi,” sebutnya.
Menurutnya, jagung sebagai bahan hijauan pakan menjadi salah satu sumber protein dan energi yang baik bagi ruminansia. Di Indonesia saat ini, masih miskin produk hijauan pakan yang memiliki kandungan nutrisi yang cukup baik.
“Produksinya masih mengandalkan musim sehingga harus ada teknologi penyimpanan yang baik. Belum lagi kondisi pengolahan pasca panen di Indonesia masih banyak perbaikan. Terutama bila bisnis hijauan pakan Indonesia ingin maju,” ujarnya. Ia menambahkan teknologi pasca panen secara tersistem harus segera diterapkan. Mengingat teknologi pengolahan hijauan masih belum efisien.
“Maka dari itu, saya rekomendasikan untuk hijauan pertama kita jadikan silase karena biasanya diproduksi di musim hujan. Bila sudah memasuki musim panas akan kita keringkan. Saya menilai teknologi ensilase yang lebih ekonomis,” ujarnya.
Harga dan kualitas hijauan, lanjutmya, juga masih bervariasi terutama pada musim kemarau. Perlu untuk mencari jalan agar permasalahan ini tidak terus terjadi. Rantai pasok dan sistem transportasi juga masih sembarangan sehingga harga cenderung tidak stabil. Begitu pula dengan manajemen penyimpanannya yang kurang baik.
Padahal, imbuhnya, pemberian pakan yang berkualitas sangat mempengaruhi produktivitas dari ruminansia. Hal ini menyebabkan produksi daging potong dan susu Indonesia masih rendah. “Kita perbaiki dengan penerapan teknologi pasca panen, penerapan teknologi ensilase. Ini teknologi yang sangat saya rekomendasikan untuk hijauan. Jika teknologi ini sudah semua (diterapkan) maka kita bisa menyediakan pakan dengan baik,” tambahnya.
Teknologi ensilase tidak memerlukan investasi yang besar. Namun teknologi ini belum berkembang di Indonesia padahal dapat diterapkan pada produk jagung. Dukungan terhadap program dari Direktorat Pakan dengan membuat bank pakan di berbagai wilayah juga penting. Bank pakan ini dapat menjadi sentra produksi pakan. Didukung juga dengan digitalisasi sistem logistik dan informasi pakan. ap/iu