Mencegah lebih baik dari pada mengobati. Semboyan itu sangat relevan bagi usaha budi daya perunggasan untuk menjaga kesehatan ternak, demi mendapatkan performa produksi yang sesuai harapan. Salah satu tindakan pencegahan yang efektif dan sering dilakukan di lapangan adalah vaksinasi.
Pentingnya vaksinasi pada unggas tersebut ditandaskan oleh Head of Region DIY & Central Java BroilerX drh. Lucky Yudhistira dalam Indonesia Livestock Club (ILC) Edisi 32 yang mengangkat tema “Vaksinasi Unggas” (25/11). Hadir pula narasumber penting lain dalam ILC tersebut yakni Sales Support Manager Sanbe drh. Rosalia Ariyani.
Lucky Yudhistira memaparkan vaksinasi merupakan tindakan pemberian vaksin atau infeksi buatan yang terkendali untuk menstimulasi pembentukan antibodi yang protektif dan seragam, sesuai dengan jenis vaksin yang diberikan. Pemberian vaksin berfungsi untuk merangsang pembentukan kekebalan (antibodi) pada ternak sehingga dapat mencegah infeksi penyakit.
“Vaksinasi menjadi sebuah hal yang sangat penting dalam menjaga kesehatan ayam. Karena menjadi pintu awal yang memproteksi ayam sejak dini,” kata Lucky Yudhistira. Ibarat kata, sedia payung sebelum hujan. Terlebih kita melihat tantangan di lapangan yang kian beragam dan kondisi cuaca pancaroba seperti sekarang ini, sehingga sangat dibutuhkan vaksin untuk membuat benteng pertahanan ayam.
Beberapa peternak kadangkala juga mengeluhkan biaya vaksinasi yang tinggi. Namun menurutnya hal itu akan sebanding dengan hasil yang akan diperoleh di akhir. Dan berdasarkan pengalaman saya terkait biaya sebenarnya sudah diperhitungkan dari program medikasi yang dibuat oleh dokter hewan dan kepala produksi yang ada di lapangan. Jadi program yang sudah diberikan harus tetap dijalankan. Tapi kalau umpamanya terlalu tinggi, mungkin harus dibicarakan kembali kepada petugas di lapangan terutama dokter hewan.
Terkait perbedaan vaksin ayam broiler dan layer, Lucky Yudhistira menyebutkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara keduanya. Karena memang untuk pemeliharaan layer sangat panjang dibandingkan broiler yang dipelihara sangat singkat, hanya sekitar 35 hari. Kemudian, vaksinasi utama pada ayam broiler saat ini sudah banyak yang dilakukan di hatchery, seperti ND, IB, IBD dan AI. Namun menyarankan pentingnya melihat kondisi lapangan itu sendiri.
“Walaupun vaksin dari hatchery sudah diberikan, namun kita juga harus melihat challenge di lapangan. Misalnya di suatu kandang itu tinggi challenge atau history nya terhadap IBD atau ND. Maka sah-sah saja menurut saya untuk melakukan revaksinasi karena sejauh ini challenge tiap daerah itu berbeda-beda. Mungkin ada yang zona hijau ataupun yang zona kuning dan zona merah. Dalam hal ini petugas lapangan harus jeli dan harus mengidentifikasi challenge atau history seperti apa di lapangan. Begitupun dengan cuaca, seperti musim pancaroba yang ekstrem maka sah-sah saja apabila memutuskan untuk revaksinasi,” tambahnya.
Lucky Yudhistira menyarankan agar vaksinasi diberikan saat ayam kondisinya sehat. Pasalnya ketika kondisi ayam tidak sehat, biasanya akan menimbulkan antibodi yang tidak optimal. Hal ini dapat membuat hasil vaksinasi tidak optimal dan akan terjadi rolling reaction, sehingga akhirnya pos vaksinalnya pun juga tidak merata atau tidak seragam.
“Secara teknis di lapangan vaksinasi yang kurang tepat dapat menimbulkan berbagai gejala, seperti leher terpuntir, terjadi peradangan ataupun inflamasi ataupun paralisis otot yang bisa terlihat secara inspeksi dan adspeksi. Hal ini dapat meningkatnya potensi terjadinya outbreak atau wabah. Bahkan yang paling fatal, ketidakberhasilan vaksinasi dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu, agar proses vaksinasi bisa optimal, dalam pemberiannya petugas lapangan harus cermat dan tepat, baik jenis, dosis, waktu hingga teknik pemberiannya,” tandas Lucky Yudhistira. AP