agropustaka.id, Opini. Puluhan tahun berjalan di era Reformasi ini, pembangunan peternakan sapi pedaging tak pernah mencapai sasaran yang telah ditetapkan pemerintah. Sejak dicanangkan program swasembada daging sapi, dengan keanekaragaman tagline, seperti ”swasembada on trend”, ”percepatan swasembada daging sapi”, ”program swasembada daging sapi dan kerbau”, dan ”swasembada protein”, kesemua program itu seolah-olah hanya ditujukan untuk dapat alokasi anggaran yang tinggi. Swasembadanya sendiri tak pernah terwujud.
Apabila dicermati, kegagalan swasembada daging sapi terkendala oleh berbagai kebijakan yang kontraproduktif. Berikut kebijakan yang menjadi kendala masa lalu dan kini, yang harus dipelajari dan kemudian diubah (mungkin juga sudah diubah) untuk pembangunan di masa yang akan datang.
Pertama, ada kebijakan larangan penggunaan hormon pertumbuhan (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 Pasal 22 Ayat 4c). Namun, di sisi lain, negara ini melakukan impor sapi dan daging sapi dari negara yang menggunakan hormon. Artinya, pemerintah tak berpihak kepada industri peternakan sapi di dalam negeri. Seharusnya, jika pemerintah konsekuen, dilakukan juga pelarangan impor produk daging yang menggunakan hormon.
Apabila dicermati, kegagalan swasembada daging sapi terkendala oleh berbagai kebijakan yang kontraproduktif.
Kedua, kebijakan terkait lamanya penggemukan sapi impor paling cepat empat bulan (UU No 41/2014, Pasal 36B Ayat 5). Kita sangat paham tujuan inovasi teknologi untuk meningkatkan nilai tambah dan efisiensi usaha.
Namun, dalam kasus ini, ternyata kebijakan tersebut membuat rendahnya perputaran modal sehingga produksi daging sapi di dalam negeri tidak mempunyai daya saing.
Ketiga, kebijakan perubahan berat badan impor sapi bakalan dari 350 kilogram menjadi 450 kg (Peraturan Menteri Pertanian atau Permentan No 49/2016 juncto No 02/2017 Pasal 15). Kebijakan ini sangat kontraproduktif karena konsep pertumbuhan kompensasi (compensatory growth) akan diperoleh pada berat badan 300-350 kg bagi sapi impor. Dengan berubahnya kebijakan ini, tentu berdampak pada rendahnya tingkat produk yang dihasilkan, sementara preferensi pasar domestik hanya pada sapi siap potong dengan maksimal berat 500 kg.
Keempat, kebijakan membebaskan impor daging dan sapi (Permentan No 17/2016, Permentan No 34/2016, dan Peraturan Menteri Perdagangan No 59/2016). Sesungguhnya kebijakan impor daging dan sapi diperlukan hanya sebagai katup pengatur terhadap upaya rangsangan peningkatan produksi dalam negeri. Upaya pembebasan impor bisa dilakukan sepanjang kebijakan pengembangan peternakan di dalam negeri sama dengan di negara pengekspor. Artinya, kita berkompetisi apple to apple.
Anekdot Peternakan Sapi
Kelima, kebijakan membuka impor dari negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku (Peraturan Pemerintah atau PP No 4/2016 dan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 2556/2016). Kebijakan ini bertentangan dengan UU No 41/2014 tentang PKH Pasal 36 E Ayat 1 bahwa impor ternak/produk hewan bisa dilakukan dari negara/zona suatu negara yang bebas penyakit menular. PP No 4/2016 dan SK Mentan No 2556/2016 jelas melanggar UU No 41/2014.
Terhadap hal ini kemudian dilakukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) dan MA menetapkan kebijakan ini tidak melanggar UU. Faktanya, akibat kebijakan ini telah dilakukan impor besar-besaran daging asal India yang jelas-jelas telah mendistorsi pasar daging sapi domestik dan berdampak negatif bagi pembangunan peternakan rakyat.
Keenam, kebijakan rasio impor sapi bakalan dengan indukan (Permentan No 02/2017 Pasal 7). Berdasarkan hasil analisis, kebijakan ini akan mematikan bisnis feedlot, pengurasan populasi sapi lokal dan sapi perah serta meningkatnya pemotongan sapi betina produktif. Selain itu, kebijakan ini juga akan meningkatkan impor daging sapi dan berdampak ke penurunan produktivitas usaha tani di perdesaan.
Kebijakan yang terakhir pada tahun ini ialah Permentan No 136/2020 tentang jenis media pembawa penyakit hewan karantina dan organisme hewan pengganggu tumbuhan karantina. Dalam satu diktum keputusannya ditetapkan bahwa dimasukkan dan dikeluarkannya komoditas peternakan/pertanian dari suatu area ke area lain di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia diperlukan karantina. Ini sangat kontraproduktif dengan harapan pemerintah sendiri untuk memberikan kemudahan dalam pembangunan.
Bisa dibayangkan jika terhadap ternak sapi, daging, susu, atau komoditas hasil pertanian lain yang selama ini dikirim dari daerah produsen di Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan ke wilayah konsumen di Jawa Barat dan Jakarta harus dilakukan karantina. Apa yang akan terjadi?
Berbagai kebijakan tersebut sesungguhnya merupakan kebijakan-kebijakan yang harus diharmonisasi untuk kepentingan peningkatan produksi di dalam negeri, bukan sebaliknya, dihambat.
”Omnibus law”
Kebijakan omnibus law yang dicanangkan pemerintahan Presiden Joko Widodo merupakan angin segar kebijakan yang dinantikan masyarakat. Namun, sayang, para pembantunya masih membuat berbagai kebijakan yang justru tidak menciptakan iklim kondusif bagi pembangunan itu sendiri.
Selain itu, para wakil rakyat dan masyarakat profesi yang sedang menyusun dan memperbaiki kebijakan dibuat bingung pula dengan lahirnya berbagai kebijakan baru yang masih tetap juga kontraproduktif terhadap pembangunan itu sendiri. Semoga anekdot ini segera berakhir.
Penulis: Rochadi Tawaf, Komite Pendayagunaan Pertanian
*kliping kompas