Cegah Kontaminasi Aflatoksin pada Pakan, Hasilkan Produk Susu Berkualitas

Aflatoksin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh strain spesies fungi tertentu, khususnya Aspergillus flavus. Dampak dari konsumsi pangan atau pakan yang terkontaminasi aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya kematian, kanker, gangguan hormonal hingga penurunan imunitas tubuh. Aflatoksin, khususnya aflatoksin B1 (AFB1), menjadi perhatian khusus dibanding mikotoksin lainnya. Hal ini karena tingginya kejadian cemaran serta dan toksisitas dari AFB1, sehingga hampir semua negara memiliki regulasi untuk mengatur tingkat cemaran AFB1 yang diperbolehkan dalam pakan maupun pangan. The International Agency for Research on Cancer (IARC) sejak tahun 2002 telah mengklasifikasikan AFB1 sebagai senyawa karsinogenik terhadap manusia. Demikian pula WHO telah menyatakan adanya keterkaitan antara konsumsi pangan terkontaminasi AFB1 dengan insiden hepatokarsinoma.

Penelitian saat ini menunjukkan bahwa jika ternak mengkonsumsi pakan yang terkontaminasi AFB1, maka akan terjadi transfer residu AFB1 dan metabolitnya ke dalam produk ternak, seperti susu, daging dan telur. Transfer residu aflatoksin dari pakan ternak perah ke susu menjadi perhatian paling serius, karena: (1) carry-over rate (COR) atau tingkat transfer yang tinggi dari aflatoksin di pakan menjadi aflatoksin di susu. Beberapa penelitian memperlihatkan COR dapat hingga 3% yang tergantung pada tingkat cemaran AFB1 dalam pakan serta tingkat produksi susu. Pada sapi perah Indonesia (PFH) nilai COR diketahui berkisar antara 0,1-0,8% (Sumantri et al., 2012; Sumantri et al., 2017); (2) nilai penting susu sebagai sumber nutrisi untuk balita, anak-anak serta lanjut usia. Di mana kelompok tersebut merupakan kelompok yang rentan terhadap dampak paparan aflatoksin. Sebagaimana  diketahui biodetoksifikasi utama AFB1 terjadi di liver dengan melibatkan ensim famili sitokrom P450 yang aktivitas dan sekresinya berbeda tergantung pada spesies, fase fisiologis individu dan nutrisi; (3) Tren meningkatnya konsumsi susu dan olahannya karena peningkatan kesejahteraan dan kesadaran masyarakat akan pangan bergizi. Sehingga jaminan keamanan susu dan produknya dari masuknya materi berbahaya harus dijaga.

Kondisi suhu dan kelembaban daerah tropis, kurang baiknya tata laksana penyimpanan bahan pakan menyebabkan tingginya kejadian dan tingkat cemaran AFB1 dalam pakan sapi perah di Indonesia. Penelitian yang kami lakukan pada pakan sapi perah di Jateng dan DIY (Tabel 1) menunjukkan semua sampel pakan yang diambil dari peternak, kelompok ternak, koperasi dan feedmill mengandung AFB1, dengan kadar berkisar antara 4-85 µg/kg.

Tabel 1. Cemaran AFB1 pada pakan sapi perah

    Kontaminasi AFB1
Kelompok Responden Jenis Pakan Positif n (%) Kisaran (µg/kg) Rerata (µg/kg)
Koperasi Susu dan Feedmill Pakan Konsentrat 100 15-47 30
Kelompok Ternak Ransum 100 4-85 44
Peternak Ransum 100 12-85 54
Total   100 4-85 47

Catatan: Survei dilakukan di Klaten, Boyolali (Provinsi Jawa Tengah) dan Sleman (Provinsi DI Yogyakarta)

Tingginya prevalensi cemaran AFB1 pada pakan ini berakibat pada tingginya prevalensi cemaran metabolit AFB1 (AFM1) pada sampel susu yang diambil dari responden sampel pakan tersebut. Tabel 2 berikut memperlihatkan semua sampel susu segar yang diambil dari peternak, kelompok ternak dan cooling unit, terdeteksi mengandung AFM1 dengan kisaran 15-221 ng/L.

Tabel 2. Cemaran AFM1 pada susu sapi segar

  Kontaminasi AFM1
Kelompok Responden Positif n (%) Kisaran (ng/kg) Rerata (ng/kg)
Peternak 100 15-99 60
Kelompok Ternak 100 35-163 74
Koperasi Susu dan Cooling Unit 100 95-221 148
Total 100 15-221 75

Catatan: Survei dilakukan di Klaten, Boyolali (Provinsi Jawa Tengah) dan Sleman (Provinsi DI Yogyakarta)

Acuan toleransi cemaran AFB1 dalam pakan sapi perah di Indonesia saat ini masih sangat tinggi, yaitu 200 µg/kg. Bandingkan dengan acuan uni eropa (EU) yang memberi batas maksimum 5 µg/kg pada pakan sapi perah. Batas maksimum toleransi kandungan AFM1 dalam susu di Indonesia juga ditetapkan sangat tinggi, yaitu 500 ng/L, bandingkan dengan EU yang menetapkan batas maksimal 50 ng/L untuk susu konsumsi orang dewasa. Tingginya toleransi cemaran AFB1 dalam pakan dan AFM1 dalam susu di Indonesia mungkin mempertimbangkan masih rendahnya konsumsi susu oleh masyarakat Indonesia. Namun, melihat tingginya prevalensi cemaran AFM1 pada susu, resiko konsumen terhadap paparan aflatoksin menjadi tinggi. Penelitian kami terhadap cemaran AFM1 dalam berbagai produk susu serta estimasi paparan aflatoksin melaluinya memperlihatkan bahwa 93% sampel susu yang dijual oleh pengecer (susu segar, susu fermentasi, susu rekombinasi) mengandung AFM1 dengan kisaran 24-570 ng/L, dan terdapat 2,5% sampel susu mengandung AFM1 >500 ng/L (Tabel 3).

Tabel 3. Cemaran AFM1 pada berbagai produk susu

      Cemaran AFM1
Tipe Produk Susu n Sampel Positif n Kisaran (ng/L) Rerata (ng/L)
Susu sapi segar 20 90 24-449 219
Susu sapi pasteurisasi 16 100 100-570 244
Susu rekombinasi (jumlah merk) 6 100 99-161 131
Total 42 93 24-570 216

Catatan: Survei dilakukan di Sleman, Yogyakarta dan Kulonprogo  (Provinsi DI Yogyakarta)

Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa berdasarkan pola konsumsi susu yang dikaitkan dengan cemaran AFM1 didalamnya, seluruh kelompok umur konsumen terpapar aflatoksin >1  ng/kg berat badan/hari, dengan resiko terbesar (5,3 ng/kg berat badan/hari) ditemukan pada kelompok umur 3-5 tahun (Tabel 4). Temuan ini tentu sangat mengkhawatirkan, karena jika merujuk pada pendapat international expert committee (JEFCA) dinyatakan bahwa paparan aflatoksin meskipun kurang dari 1 ng/kg berat badan/hari dapat berkontribusi terhadap resiko kanker hati.

Tabel 4. Estimasi paparan aflatoksin melalui konsumsi susu

Kelompok Umur (tahun) Konsumsi Susu (L/hari) Konsumsi AFM1 (ng/hari) Paparan AFM1 (ng/kg berat badan/hari)
3-5 0,61 79,6 5,26
6-15 0,29 37,3 1,23
16-25 0,50 80,0 1,46
26-55 0,59 100,6 1,57

Catatan: Survei dilakukan di Sleman, Yogyakarta dan Kulonprogo  (Provinsi DI Yogyakarta)

Oleh sebab itu perlu adanya perhatian serius dari pemerintah, industri pengolah susu (IPS) dan peternak untuk menghindari adanya kontaminasi aflatoksin dalam susu. Hal pertama yang disarankan adalah pemerintah perlu menetapkan acuan yang lebih rendah terhadap toleransi kandungan AFB1 pada pakan sapi perah laktasi dari sebelumnya 200 µg/kg. Selain itu perlu adanya peraturan yang mendukung ketaatan terhadap peraturan tersebut. Kedua, IPS harus konsisten menjalankan aturan batas maksimal toleransi cemaran AFM1 dalam susu yang dapat diterima oleh IPS. Disinyalir susu segar dari kelompok atau koperasi susu yang ditolak satu IPS karena terdeteksi mengandung AFM1 >500 ng/L masih dapat diterima oleh IPS lainnya. Padahal, sebagaimana terlihat pada Tabel 2, prevalensi cemaran AFM1 pada susu segar di peternak sangat tinggi sehingga sangat dimungkinkan kadar cemaran AFM1 dari bulk sample melebihi toleransi yang dapat diterima. Selain itu IPS bekerja sama dengan koperasi susu harus memiliki program pembinaan terhadap peternak untuk mencegah terjadinya cemaran AFB1 dalam pakan dan penggunaannya untuk ternak perah laktasi. Ketiga, koperasi susu, kelompok ternak dan peternak merupakan bagian terdepan dalam rantai cemaran aflatoksin dari pakan ke susu. Untuk mencegah terjadinya cemaran AFB1 dalam pakan diperlukan pembinaan dan bantuan fasilitas sehingga peternak memahami cara pemilihan bahan pakan dan penyimpanan pakan yang baik untuk mencegah pertumbuhan fungi penghasil mikotoksin. Beberapa langkah yang harus dilakukan untuk mencegah pertumbuhan fungi penghasil mikotoksin dalam pakan antara lain:

  1. Pilih bahan pakan yang dihasilkan dari proses budidaya yang baik, seperti tidak mengalami serangan hama dan penyakit, tidak mengalami kekeringan dan tidak kekurangan nutrisi. Dilakukan kontrol dan pemisahan biji-bijian yang rusak/terinfeksi hama untuk menghindari penyebaran infeksi fungi di gudang.
  2. Bahan pakan harus memiliki kadar air 12-14%
  3. Gudang penyimpanan pakan harus memiliki konstruksi dan desain yang baik yang dapat memberikan aerasi serta mencegah masuknya hama, serangga dan pertumbuhan fungi di dalam gudang
  4. Jika memungkinkan, lakukan penyimpanan pakan pada suhu kurang dari 24oC
  5. Jika diperlukan, gunakan fungsida yang tidak toksik, seperti asam organik
  6. Lakukan penilaian resiko kontaminasi mikotoksin, seperti resiko penggunaan bahan pakan tertentu yang diduga mengandung cemaran AFB1 serta pengujian sampel untuk mengetahui tingkat cemarannya. Kemudian jika pakan diketahui telah terkontaminasi aflatoksin serta tingkat cemarannnya, maka diperlukan analisis langkah dekontaminasi yang harus dilakukan, seperti apakah diperlukan penggunaan mikotoksin binder dalam formula pakan,

Melihat situasi peternakan sapi perah saat ini yang didominasi oleh peternakan rakyat, intervensi pada formula pakan dengan penambahan aflatoksin binder menjadi langkah yang paling praktis dan ekonomis. Karena tumbuhnya fungi serta produksi aflatoksin dalam pakan merupakan hal yang sulit dihindari pada situasi di Indonesia.

Penggunaan aflatoksin binder selain menurunkan kandungan AFM1 dalam susu juga terbukti dapat memperbaiki produksi susu. Penelitian pada sapi perah Indonesia (PFH) yang mendapat pakan terkontaminasi AFB1 dosis rendah (50 µg/kg) selama 2 minggu menyebabkan penurunan produksi susu sebanyak 33%. Penambahan bentonit alam 0,1% dalam ransum kemudian dapat meningkatkan produksi susu kembali hingga 21%. Penggunaan bentonit alam juga menurunkan transfer aflatoksin dari pakan ke dalam susu sebanyak 12% (Sumantri et al., 2017). Tentunya masih perlu dilakukan penelitian untuk menguji berbagai jenis binder maupun metode lain yang dimungkinkan untuk mengurangi dampak paparan aflatoksin terhadap ternak perah serta residunya di dalam susu, seperti penggunaan probiotik yang memiliki kemampuan mengikat dan mendegradasi aflatoksin. Selain itu, perlunya peningkatan peran pemerintah dan IPS dalam upaya menurunkan resiko paparan aflatoksin melalui susu sebagaimana disebutkan di atas.

Oleh: Dr. Ir. Ika Sumantri, S.Pt., M.Si., M.Sc., IPM.

Dosen Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru