Agropustaka.id, Pemikiran. Dengan alasan negeri ini sudah terwabah penyakit mulut dan kuku (PMK), impor sapi dan hasil ikutannya dari negara mana pun dapat dilakukan. Jika kebijakan ini yang dipilih sebagai alternatif, kegagalan swasembada daging sapi bakal berulang.
Program swasembada daging sapi dengan kebijakan mematok harga Rp 80.000 per kilogram berdampak amat signifikan terhadap peningkatan importasi daging sapi, dari 89.687 ton pada 2016 menjadi 284.566 ton pada 2022. Adapun impor daging kerbau naik dari 45.192 ton pada tahun 2016 menjadi 77.515,6 ton pada 2022.
Di sisi lain, impor sapi bakalan turun dari 581.925 ekor pada 2016 menjadi 190.687 ekor per Agustus 2023. Sementara harga daging sapi terus naik, dari Rp 65.902 per kg pada tahun 2011 menjadi Rp 120.797 per kg pada 2023.
Kontribusi produksi dalam negeri terhadap konsumsi daging nasional turun dari 68 persen pada 2016 menjadi 53 persen pada 2022. Partisipasi konsumsi masyarakat akan daging sapi juga turun drastis dari 14,92 persen pada 2014 jadi 7,76 persen pada 2022.
Peternak rakyat sebagai produsen daging sapi terbesar pun tidak lagi mampu bersaing dengan daging impor. Dampaknya, usaha ternak sapi potong tidak diminati lagi oleh peternak karena tidak menguntungkan. Hal ini ditunjukkan pula oleh data menurunnya jumlah rumah tangga peternak sapi potong secara nasional pada periode 2013-2018 sebesar 19,1 persen.
Siapa sesungguhnya yang diuntungkan dari fenomena ini? Para ”penumpang bebas” yang memanfaatkan kebijakan ini. Mereka adalah pedagang dan importir, bukan peternak, dan juga bukan konsumen. Jika kondisi ini dibiarkan, akan terjadi ketergantungan impor daging sapi/kerbau yang relatif murah.
Peternak rakyat sebagai produsen daging sapi terbesar pun tidak lagi mampu bersaing dengan daging impor. Dampaknya, usaha ternak sapi potong tidak diminati lagi oleh peternak karena tidak menguntungkan.
Akhir-akhir ini ada upaya pemerintah melakukan importasi sapi bakalan, sapi indukan, dan daging sapi dari sejumlah negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku (PMK). Upaya ini ditujukan untuk meningkatkan populasi sapi di dalam negeri agar produksi terdongkrak.
Dengan alasan negeri ini sudah terwabah PMK, impor sapi dan hasil ikutannya dari negara mana pun dapat dilakukan. Jika kebijakan ini yang dipilih pemerintah sebagai alternatif, kegagalan swasembada daging sapi diprediksi bakal berulang.
Menurut data BPS, struktur populasi sapi potong hasil sensus 2013 terdiri dari jantan 31,85 persen dan betina 68,15 persen. Pada kelompok sapi betina, betina indukan 66,5 persen, betina muda 19,88 persen, dan pedet 14,03 persen.
Data ini menunjukkan, potensi pengelolaan sapi betina indukan untuk menjadi sumber ketersediaan bakalan bagi industri perbibitan. Dengan melakukan pembelian betina indukan besar-besaran, pemerintah atau industri perbibitan akan membantu peternak untuk tetap memelihara betina lantaran harganya mahal.
Konsep ini dapat menurunkan pemotongan betina produktif yang masih marak. Hal itulah kendala utama dalam upaya peningkatan populasi ternak di sentra produksi sapi seperti Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur.
Keniscayaan
Sesungguhnya, kegagalan program swasembada daging sapi sudah lama diakui pemerintah. Sementara tuntutan industrialisasi di sektor pertanian sudah merupakan keniscayaan.
Berkaca pada program swasembada dan era industrialisasi saat ini, cita-cita Indonesia menjadi lumbung ternak sapi di Asia yang digagas pemerintah sangat dimungkinkan. Upaya untuk merealisasikan cita-cita itu perlu ditetapkan oleh keputusan presiden. Pelaksanaannya perlu dilakukan dengan memperhatikan sejumlah hal.
Pertama, hal mendasar yang harus diupayakan adalah mind set harga sebagai tolok ukur keberhasilan perlu diganti dengan kesejahteraan peternak. Tujuan peternak sapi potong adalah mengantongi keuntungan. Jika usaha peternakannya menguntungkan, populasi ternak akan meningkat dan berdaya saing.
Kedua, lakukan industrialisasi peternakan sapi. Hal itu ditempuh melalui pola korporasi dengan reorientasi perbibitan dilakukan pada skala industri dan penggemukan oleh peternak rakyat.
Implementasi industrialisasi secara operasional diyakini akan berdampak terhadap ketersediaan daging sapi dan peningkatan perekonomian.
Sebagaimana diketahui, lebih dari 90 persen peternakan rakyat berada di Pulau Jawa. Selama ini, mereka dibebani kegiatan perbibitan dan pembiakan. Peternak sapi di Jawa harus mengubah polanya menjadi usaha penggemukan. Jika masih menggabungkan kegiatan pembiakan dan penggemukan, hasil usahanya tidak akan memiliki daya saing.
Seyogianya kegiatan pembiakan dan perbibitan diserahkan kepada korporasi dalam skala besar di luar Jawa, khususnya di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Di wilayah ini, industrialisasi peternakan sapi potong dalam bentuk ekstensifikasi integrasi sapi sawit, pemanfaatan lahan pascatambang dan pulau-pulau kosong, semuanya berada di atas jutaan hektar lahan.
Peternak sapi di Jawa harus mengubah polanya menjadi usaha penggemukan. Jika masih menggabungkan kegiatan pembiakan dan penggemukan, hasil usahanya tidak akan memiliki daya saing.
Ketiga, pemerintah layak memberi insentif bagi korporasi pada industri ini. Perbibitan adalah tugas pemerintah, seperti diamanatkan Undang- Undang Nomor 41 Tahun 2014 yang membahas peternakan dan kesehatan hewan.
Insentif itu dapat berupa kebijakan fiskal, fasilitasi bunga bank, jaminan reklamasi lahan, insentif per kelahiran pedet, atau perizinan lain yang mendukung terhadap program pembibitan/pembiakan sapi. Hasil produksi dari industri perbibitan skala besar ini berupa sapi bakalan yang akan digemukkan oleh peternakan rakyat di Jawa dan Nusa Tenggara Barat, khususnya.
Jika industrialisasi ini dilaksanakan secara masif, pemerintah akan mampu menghemat devisa negara. Namun, semuanya bergantung pada niat pemerintah melakukan introspeksi mendasar dalam upaya membangun harmonisasi kebijakan industri sapi potong. Tentu dengan melibatkan peternakan rakyat sebagai tulang punggung.
ap/kcm/Rochadi Tawaf Pengurus Besar Perkumpulan Insinyur dan Sarjana Peternakan Indonesia