Kebijakan Pertanian yang “Kepencut”

Agropustaka.id, Pemikiran. Jauh di masa lalu, pertanian di Indonesia menjadi potensi yang sudah terpetakan, terpolakan dan direncanakan. Hasil jerih payah kebijakan masa lalu terkait teh, kopi, karet, sawit, kedelai memberikan dampak yang signifikan, nyatanya beberapa menjadi andalan eskpor.

Namun kesalahan fatal yang terjadi keunggulan komparatif bangsa tidak terpetakan dan menjadi road map kebijakan program pemerintah secara menyeluruh dan berkesinambungan termasuk aspek teknologi, diversifikasi produk, managemen dan perluasan pasar.

Negara terjebak kebijakan ‘kepencut’, artinya fokus utama diombang-ambingkan oleh peluang sesaat yang tidak direncanakan dengan matang. Kondisi tersebut dapat kita lihat dari pola bertani, berternak dan berkebun masyarakat kebanyakan.

Bahkan ketika ada peluang Porang, euforianya menggema bak hujan emas hingga presiden pun “kepencut” dan memberikan instruksi ke Mentan agar digarap secara serius.

Sementara kita tahu pasar porang dunia sedang berkembang dan mungkin masih tumbuh, tapi pasti ada titik turun. Sayangnya kata kepencut ini rupanya telah menjadi kultur yang menunjukan kebijakan dan langkah yang tidak terukur, tidak terstruktur, tidak terencana dan tidak terprogram dalam menengah atau panjang.

Pola kepencut ini pulalah yang selama ini telah menghancurkan banyak petani. Sederhananya, ketika suplai pasar lombok berkurang maka harga tinggi bahkan sampai 100 ribu lebih, petani kepencut banyak yang menanam, dan akhirnya terjadi over supply.

Saat panen berlebih terjadi over supply, maka harga yang Rp 100 ribu menjadi Rp 10 ribu saja, padahal komoditas pertanian adalah komoditas yg mudah rusak. Naik turunnya harga telur dan ayam hidup adalah gagalnya dalam mengatur supply demand, semua karena kepencut.

Kondisi kepencut adalah kondisi yang membuai dan ini merupakan gagalnya kita dalam membuat kebijakan yang sesuai dengan keunggulan komparatif, konprehensif dan strategis, namun kepencut membuat kebijakan populis pragmatis dan instan.

Boleh jadi kepencut ini telah menggejala di seluruh Nusantara karena dipengaruhi kepentingan sesaat bagi para calon pemimpin bangsa di semua tingkatan, termasuk anggota dewan wakil rakyat.

Untuk dapat terpilih kembali maka calon calon harus mampu membuat masyarakat “kepencut” dengan program pragmatis dan langsung “ketok” kalau perlu “ketok duite”. Sayangnya konsep ini tidak cocok bagi kebijakan sebuah negara karena dampaknya sangat luas dan melemahkan kekuatan bangsa secara berkepanjangan.

Pertanian yang merupakan urat nadi bangsa Indonesia semoga tidak menjadi sektor dengan kebijakan kepencut yang justru akan menghancurkan keunggulan komparatif yang seharusnya di tata dengan komprehensif strategis dengan capaian target tahunan, dan lima tahunan yang terus istiqomah untuk bisa menjadi bangsa pemenang dalam arti yang sesungguhnya. Salam Kebangsaan!

Penulis:
Yuny Erwanto, Guru Besar Fak. Peternakan UGM