agropustaka.id, Pemikiran. Heboh fluktuasi harga daging yang terjadi setiap tahun khususnya pada Ramadan dan Idul Fitri, tahun ini berulang lebih cepat. Kebijakan strategis telah diluncurkan pemerintah seperti kuota impor daging/sapi, pembebasan kuota impor, pembatasan/pembebasan impor jeroan, membuka impor daging India, kebijakan rasio impor bakalan dan indukan, serta masih banyak kebijakan lainnya.
Namun, harga daging terus meningkat. Apa sesungguhnya yang menyebabkan hal ini terjadi?
Tahun ini, kenaikan harga daging sapi berbeda dengan sebelumnya. Pada era pandemik Covid 19, ditandainya dengan mogok jualan dari para pedagang daging sapi jauh sebelum Ramadan dan Idulfitri di wilayah DKI Jakarta. Pasalnya, menurunnya daya beli konsumen di satu sisi, sementara di sisi lainnya harga daging meningkat tajam.
Dalam beberapa minggu terakhir ini telah terjadi kenaikan harga yang signifikan, dari Rp 110.000 per kg menjadi sekitar Rp 140.000,00 per kg. Ternyata, konsumennya malah menurun tajam. Menurut Ketua umum Jaringan Pemotongan dan Pedagang Daging Indonesia (JAPPDI), kerugian pedagang daging/jagal sekitar Rp 1 juta – Rp 2 juta per ekor.
Kenaikan harga sapi bakalan impor dari Australia bukan tanpa sebab. Dua tahun lalu telah terjadi bencana alam banjir dan kebakaran hutan di Australia. Menyebabkan menurunnya pasokan dari Australia. Ditambah meningkatnya konsumen sapi Australia di Vietnam dan Cina. Ini menyebabkan harga impornya secara spektakuler meningkat tajam. Kebijakan single supplier inilah yang membahayakan posisi peternakan sapi potong kita.
Apabila ditelusuri mengapa hal ini berulang dan terus terjadi, penyebab utamanya adalah sebagai berikut. Pertama, kebijakan pembangunan peternakan sapi potong yang sudah sangat baik yang didisain oleh para ahli, tidak diikuti oleh politik anggaran yang masif.
Pasalnya, banyak kebijakan yang tertuang dalam roadmap pengembangan sapi potong menuju lumbung pangan Asia 2045, asumsinya tidak dipenuhi. Artinya, sebagus apapun rancangan pengembangan sapi potong, tanpa anggaran yang cukup dan akuntabel akan tidak ada gunanya. Dampaknya sudah kita rasakan saat ini. Berapa besar kerugian yang diderita para pengusaha yang bangkrut, dan pengurasan devisa karena impor meningkat.
Kedua, kebijakan pengembangan produksi sapi di dalam negeri masih menggunakan konsep konvensional. Misalnya, orientasi pengembangan masih di Pulau Jawa, NTB, dan NTT. Programnya, masih mengandalkan konsep lama. Misalnya, program Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting (Upsus Siwab), dan pada 2020 berganti nama menjadi Sapi Kerbau Komoditas Andalan Negeri (SIKOMANDAN).
Seolah tidak ada terobosan baru dalam mengembangkan peningkatan populasi di dalam negeri, yang tumbuh lambat (1,3%/tahun) jika dibandingkan dengan kecepatan pertumbuhan permintaannya (6,4%/tahun).
Ketiga, berdasarkan pengalaman masa lalu, dan pengakuan menteri pertanian pada era SBY, bahwa kegagalan mencapai swasembada daging sapi adalah karena salah hitung. Pada situasi seperti ini patut diduga hadirnya para penikmat bebas di luar pelaku bisnis daging sapi, telah memanfaatkan situasi ini untuk meraup keuntungan dan makin memperkeruh suasana kemelut bisnis daging sapi.
Komitmen Kuat
Berdasarkan berbagai fenomena tersebut, agar fluktuasinya dapat dikendalikan, maka kebijakan yang diperlukan adalah sebagai berikut:
Pertama, perlunya komitmen yang kuat antara kebijakan pembangunan sapi potong sesuai dengan politik anggaran yang ditetapkan oleh DPR. Jika perlu, membentuk semacam kelembagaan badan otorita pengelolaan swambada daging, lintas kementrian/lembaga. Bisa juga dengan menugaskan secara khusus kepada lembaga baru Bapangnas, yang memiliki otoritas lintas kementerian/lembaga.
Kedua, reorientasi pengembangan sapi ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Caranya melalui pengembangan sapi-sawit, lahan pascatambang dan pulau-pulau kosong. Disertai dengan harmonisasi kebijakan pembangunan peternakan sapi yang kontra produktif.
Ketiga, pada era digitalisasi, pengembangan peternakan harus sudah menggunakan sistem digitalisasi seperti yang dilakukan di subsistem hilirnya. Berkembangnya infrastruktur internet di perdesaan akan turut mendukung berbagai aplikasi yang saat ini sangat kondusif bagi pengembangan digitalisasi peternakan rakyat.
Implementasi digitalisasi ini akan menjawab persoalan akurasi data yang selalu menjadi biang kerok kegagalan analisis kebijakan. Sekaligus akan mampu mengurangi atau memangkas biaya tinggi pada sistem rantai pasok yang selama ini dirasakan cukup panjang, karena memiliki Sistem Identifikasi Ternak Nasional secara digital.
Namun di balik hal tersebut bahwa sesungguhnya, kenaikan harga bukan disebabkan keinginan mereka, tetapi disebabkan oleh tuntutan ekosistem bisnisnya. Oleh karenanya, respon pedagang menyikapi kenaikan harga daging sapi berupa mogok jualan, lebih terlihat sebagai eksistensi upaya mendapatkan legalisasi harga dari semua pihak terutama konsumen dan pemerintah.
Rochadi Tawaf, Anggota Komite Pemulihan Ekonomi Jabar (KPED Jabar) & Dewan Pakar PB Ikatan Sarjana dan Insinyur Peternakan Indonesia/ap (bisnis)