Agropustaka.id, Pemikiran. Nasib peternak makin memburuk jika kebijakan pemerintah reaktif tanpa sistem, mendorong banyak pengusaha impor daging. Peternak perlu dimotivasi dengan program yang mengubah pola pikir dan wawasan usaha peternakannya.
Sangat tepat judul ”Desain Kebijakan Belum Memotivasi Peternak” di halaman 15 Kompas, 24 Maret 2023. Padahal, kebijakan Kementerian Pertanian sudah dirancang sedemikian rupa untuk memotivasi peternak dan telah diterapkan puluhan kali. Program terkini yang bersifat sangat prioritas juga telah diterapkan dengan label Korporasi Desa Sapi (KDS).
Tak ada yang bisa membantah, program KDS ini propeternak dan memang diniatkan untuk memotivasi peternak agar bisa melakukan bisnis berbasis korporasi. KDS ini salah satu contoh dari belasan program peternakan yang dilakukan pemerintah sampai saat ini, yang biasanya berupa pemberian hibah berupa ternak, kandang, peralatan, dan lain-lain kepada kelompok yang dibentuk karena akan menerima bantuan tersebut.
Selain program yang dirancang untuk usaha pembiakan ternak dalam rangka menambah populasi ternak, pemerintah juga harus mengupayakan murahnya harga daging untuk menekan inflasi. Pada 2015, Presiden Joko Widodo ingin menurunkan harga daging sapi menjadi Rp 80.000/kg dengan cara impor daging kerbau dari India yang harganya Rp 65.000/kg saat itu. Sebagai Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (DJPKH), saya waktu itu harus ikut menyukseskan keinginan itu.
Harapan yang ingin dicapai dengan impor daging kerbau beku adalah turunnya harga daging sapi. Ribuan ton daging kerbau beku telah diimpor hingga tahun ini. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Harga daging sapi tetap naik setiap tahun.
Pada 2023, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia mengusulkan harga daging sapi dinaikkan ke harga keekonomian sapi di tingkat konsumen sekitar Rp 140.000/kg. Lebih parah lagi, daging kerbau dijual sebagai daging sapi karena secara tekstur daging kerbau sulit dibedakan dengan daging sapi. Artinya, impor daging kerbau beku belum berhasil menurunkan harga daging sapi, tetapi justru sebaliknya berpeluang menghancurkan peternak sapi Indonesia.
Anehnya, di saat banyak pihak mempertanyakan peran Kementan yang memiliki tugas pokok dan fungsi meningkatkan produksi daging melalui penambahan populasi ternak, Kementan justru mengajukan 19 perusahaan importir daging kerbau kepada Kemendag. Ada kesan Kementan yang seharusnya bertanggung jawab mencukupi kebutuhan daging sapi bagi rakyat justru mendorong banyak pengusaha untuk impor daging.
Naiknya harga daging sapi dan adanya praktik ilegal untuk meningkatkan harga daging kerbau beku tetap tidak membuat peternak memperoleh pendapatan lebih baik. Harga sapi hidup masih rendah. Nasib peternak makin memburuk sampai kapan pun jika kebijakan pemerintah bersifat reaktif tanpa sistem, yaitu kebijakan impor untuk mengerem laju inflasi.
Penyebab kegagalan
Jumlah impor daging itu akan makin besar karena upaya meningkatkan populasi ternak sampai saat ini belum menampakkan hasil meski pemerintah telah menggelontorkan dana triliunan rupiah. Kegagalan dalam meningkatkan populasi ternak (baca usaha pembiakan ternak) karena hampir semua program hanya berorientasi pada persoalan teknis, dengan berasumsi bahwa semua peternak pasti bisa melaksanakan usaha pembiakan ternak, dan jika tidak bisa, peternak dapat diberikan bimbingan teknis.
Sampai hari ini, pendekatan teknis dengan beda kemasan program masih diterapkan dengan menghabiskan uang negara untuk belanja barang guna dibagikan ke kelompok seperti diuraikan di atas. Faktanya, banyak kelompok tak siap menerima bantuan dari pemerintah.
Dari intensitas interaksi penulis dengan komunitas peternak rakyat selama 10 tahun terakhir melalui program pembelajaran partisipatif Sekolah Peternakan Rakyat (SPR-IPB), bisa disimpulkan bahwa peternak wajib diberi ilmu untuk mempersiapkan mental dan kesiapan fisik lain agar mampu mengelola bantuan pemerintah.
Mengubah pola pikir dan wawasan usaha peternakannya adalah yang terpenting, yaitu mengubah pola pikir dari kebiasaan lama beternak tak berlandaskan ilmu ke arah pendekatan baru yang profesional dalam beternak berbasis ilmu.
Pekerjaan mengubah pola pikir ini dapat disetarakan secara fisik seperti membuat fondasi bangunan rumah atau suatu bangunan gedung. Biayanya mahal, sulit, dan harus terukur, tetapi hasilnya tidak terlihat.
Diperlukan kerja sama antarlembaga di pemerintahan ataupun nonpemerintah. Edukasi dalam rangka mengubah pola pikir peternak adalah domain perguruan tinggi, bekerja sama dengan pemerintah kabupaten yang memiliki kewenangan di wilayahnya. Ketika komunitas peternak rakyat telah menunjukkan perubahan pola pikirnya, Kementan dapat mendorong pebisnis membangun kemitraan dengan peternak.
Mengubah pola pikir dan wawasan usaha peternakannya adalah yang terpenting, yaitu mengubah pola pikir dari kebiasaan lama beternak tak berlandaskan ilmu ke arah pendekatan baru yang profesional dalam beternak berbasis ilmu.
Pebisnis bisa jadi offtaker. Kementan juga dapat mulai memberikan bantuan untuk keberhasilan kemitraan antara komunitas peternak dan offtaker itu. Bank juga bisa dilibatkan untuk memberikan pinjaman modal kerja.
Program pembelajaran partisipatif SPR-IPB sejak 2013 telah mampu mencetak 22 komunitas peternak bermental pengusaha kolektif gotong royong. Untuk menjaga performa komunitas ini, sertifikasi dilakukan setiap dua tahun sekali.
Komunitas terdidik ini telah menunjukkan tanggung jawab dan mampu mengembalikan dana pinjaman tanpa bunga Rp 7,5 miliar dari program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (BUMN) Jasindo dan Suconfindo. Kemitraan usaha penggemukan sapi antara komunitas sosio-bisnis dan komunitas peternak sebanyak 40 kali, dengan jumlah dana tersalur sekitar Rp 5 miliar secara syariah, bisa menghasilkan keuntungan rata-rata 1 persen per bulan.
Melibatkan komunitas peternak yang terdidik dan terkonsolidasi dalam program pembiakan ternak merupakan perubahan yang perlu dilakukan pemerintah untuk memotivasi peternak agar terus bekerja meningkatkan pendapatannya.
ap/kcm/Muladno Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (LPPM) IPB, Anggota AIPI, Wali Utama SASPRI