Reorientasi Swasembada Sapi

Agropustaka.id, Pemikiran. Sesungguhnya program swasembada daging sapi hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat dan para pedagang, bukannya peternak di perdesaan. Program swasembada daging sapi sebaiknya dihentikan dan lakukan reorientasi.

Sejak program swasembada daging sapi dicanangkan pemerintah lebih dari dua dasawarsa lalu, hingga kini program ini belum pernah mencapai tujuannya. Perjalanan menuju swasembada daging sapi ternyata tak sesederhana seper- ti perhitungan di atas kertas.

Perjalanannya penuh kendala, tantangan, dan risiko. Namun, pemerintah tetap optimistis negeri ini pada 22 tahun ke depan (2045) akan menjadi lumbung pangan Asia (Roadmap Swasembada Daging Sapi, 2016). Melihat ini, program swasembada sepertinya akan tetap ”dipelihara” pemerintah.

Pada awal dicanangkan pada 1995-2000, program ini digunakan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) untuk menarik perhatian mengenai pentingnya daging sapi dalam pembangunan. Artinya, saat itu Ditjen PKH melontarkan program dalam bentuk jargon politik, tidak didukung oleh data dan kebijakan yang akuntabel. Tujuan utamanya untuk meningkatkan anggaran di Ditjen PKH yang relatif kecil saat itu.

Lontaran isu swasembada daging sapi ternyata membuahkan hasil, yaitu menarik perhatian pemerintah. Lebih-lebih ini didukung pula oleh berkembangnya industri penggemukan sapi yang booming walau diterpa krisis ekonomi pada 1998. Bisnis penggemukan sapi dan importasi daging melonjak, ditandai dengan kian membesarnya volume impor daging dan sapi bakalan.

Meningkatnya volume impor dipicu oleh selisih harga daging di negara eksportir yang belum bebas penyakit mulut dan kuku (PMK). Padahal, tingginya harga daging sapi di negara yang bebas PMK merupakan insentif bagi peternak.

Awal tahun 2000, volume impor daging dan sapi bakalan sekitar 30 persen, dan terus meningkat, menjadi sekitar 40 persen pada 2022. Dalam perjalanannya, yang menarik adalah berubahnya kebijakan dasar peternakan (UU PKH) pada 2009 dan 2014, di mana pemerintah melegalkan masuknya daging dari zona negara yang belum bebas PMK.

Selain itu, pada 2016 terbit kebijakan yang membolehkan masuknya daging kerbau dari India sebagai negara yang belum bebas PMK. Volumenya meningkat pesat, dari 30.000- an ton tahun 2016, kini di 2023 direncanakan 100.000 ton.

Program swasembada daging sapi telah menyeret ”banyak korban”, seperti mantan Presiden PKS Hasan Luthfi dan mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Ini akibat komoditas daging sapi merupakan salah satu primadona bisnis perdagangan internasional, dengan margin keuntungan sangat menggiurkan bagi pengusaha.

Bisa dibayangkan besar margin tersebut, jika total impor daging dan sapi sebesar 250 juta kg/tahun, sementara marginnya mencapai Rp 20.000/kg. Bahkan jeroan yang tunanilai di negara eksportir memiliki nilai tinggi di negeri ini. Semua margin ini dinikmati oleh pedagang dan para penikmat bebas lainnya. Sementara peternak sapi hanya menjadi pelengkap penderita karena semua mengatasnamakan peternak dalam peningkatan populasi.

Perbedaan harga ini telah mendorong Presiden Joko Widodo menetapkan harga daging sapi Rp 80.000/kg. Kebijakan turunannya disebut sebagai ”kebijakan jungkir balik”, yang berdampak negatif pada pengembangan sapi potong. Misal, kebijakan mengizinkan impor daging kerbau dari negara yang belum bebas PMK, impor jeroan, kuota impor, dan mengadili pelaku kartel sapi impor.

Perlu reorientasi

Semua kebijakan di atas ternyata tidak mampu membuat kita swasembada. Bahkan, dibukanya keran impor dari negara yang belum bebas PMK diduga menjadi penyebab merebaknya wabah PMK dan karut-marut pengembangan sapi potong di dalam negeri.

Sejak pemerintah mencanangkan swasembada, program ini telah menjadikan daging sebagai komoditas politik. Akibatnya, pemerintah menggelontorkan anggaran hingga triliunan rupiah untuk memacu perkembangan sapi di dalam negeri.

Namun, sebagai komoditas politik, penyebaran sapi di dalam negeri dilakukan dengan kendali parpol ke wilayah-wilayah konstituennya. Akibatnya, distribusinya bukan lagi ke wilayah sentra produksi. Di sisi lain, kebijakan impor daging dibuka tanpa kendali dari mana komoditas itu berasal.

Selain itu, daging sapi memiliki elastisitas pendapatan lebih dari satu (E>1). Artinya, jika pendapatan masyarakat meningkat, konsumsi dagingnya juga meningkat.

Menurut data Susenas, partisipasi konsumsi daging sapi kita sekitar 7,76 persen (Soedjana, 2023). Secara harfiah, bisa dikatakan masyarakat yang mengonsumsi daging hanya 7,76 persen. Hal ini dapat diar- tikan daging sapi hanya dinikmati sebagian kecil masyarakat yang berpenghasilan cukup.

Sejak pemerintah mencanangkan swasembada, program ini telah menjadikan daging sebagai komoditas politik.

Tahun 2015, Kepala BPS Suryamin menyatakan, meski komoditas daging sapi termasuk dalam kategori 20 bahan pokok penyumbang inflasi, bobot kontribusi daging sapi tidak signifikan. Dalam lima tahun terakhir, komoditas daging sapi tidak lagi menjadi penyumbang utama inflasi di dalam negeri.

Berdasarkan fenomena itu, sesungguhnya program swasembada daging sapi hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat dan para pedagang, bukannya peternak di perdesaan. Karena itu, jika pemerintah ingin mengembangkan peternakan sapi potong di dalam negeri dengan target peningkatan populasi dan kesejahteraan peternak, program swasembada daging sapi sebaiknya segera dihentikan.

Untuk itu, harus dilakukan reorientasi terhadap program ini. Pengembangan korporasi pembiakan sapi diarahkan ke luar Jawa, lewat pemberian kemudahan dalam mendapatkan infrastruktur (bibit, pakan, lahan, dan teknologi), serta dukungan finansial yang murah, dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing.

ap/kcm/Rochadi TawafDewan Pakar PB ISPI, DPP PPSKI, dan Komite Pendayagunaan Petani