Agropustaka.id, Pemikiran. Program importasi daging agaknya gagal meredam gejolak harga daging sapi. Perdagingan nasional ibarat sedang sakit. Masih ada optimisme untuk mencapai swasembada, tetapi perlu kemauan politik yang konsisten.
Resiliensi subsektor peternakan dalam swasembada daging sapi nasional kembali diuji. Pasalnya, target menekan ketergantungan impor daging sapi/kerbau tidak tercapai, bahkan melonjak. Swasembada daging sesungguhnya telah diprogramkan berupa PSDS (Program Swasembada Daging Sapi) 2014. Juga didukung program Upsus Siwab (Upaya Khusus Sapi Induk Wajib Bunting) sejak 2018, dan kini program Sikomandan (Sapi Kerbau Komoditas Andalan Negeri) dari Kementerian Pertanian.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), volume impor daging sapi nasional naik dari 148.964 ton (2016) menjadi 276.761 ton (2021), sedangkan pada Januari-September 2022 mencapai 227.266 ton. Sejak itu pula harga daging sapi rata-rata Rp 134.328 per kilogram (kg) menjadi Rp 134.960 per kg pada 2022 (Kompas, 21/3/2023).
Ada dua alasan penyebab naiknya harga daging sapi. Pertama, sebagai dampak wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) pada sapi, disusul serangan penyakit LSD (lumpy skin disease) yang makin menggejala. Kedua, bersamaan dengan itu, tengah memasuki hari besar keagamaan nasional (HBKN), yakni awal puasa Ramadhan. Biasanya, saat HBKN terjadi peningkatan harga kebutuhan pokok masyarakat, termasuk daging sapi.
Berbagai langkah telah ditempuh pemerintah untuk melindungi peternak akibat penyakit hewan. Di antaranya, membantu vaksin preventif, pengobatan, tindakan biosecurity, pembatasan mobilitas ternak, dan KIE (komunikasi, informasi, edukasi).
Reorientasi peternakan
Reorientasi kebijakan pembangunan peternakan agaknya sebagai respons terhadap dinamika perubahan lingkungan strategis. Diperlukan pijakan normatif dan basis ekosistem peternakan sebagai exit strategy yang antisipatif terkait komitmen swasembada daging sapi.
Pergeseran paradigma untuk revitalisasi, bahkan revolusi peternakan, menjadi pertimbangan menjawab isu krusial pembangunan peternakan di era disrupsi. Memang, tidak selamanya bergantung pada daging impor. Volume impor secara perlahan akan diganti dengan daging lokal.
Pelaku bisnis peternakan harus mulai keluar dari pola pikir tradisional. Harus menemukan terobosan cara bertindak secara out of the box, jika perlu lebih ekstrem berpikir tanpa sekat atau tanpa kotak (no box) sekuat tenaga mewujudkan swasembada daging.
Pergeseran paradigma untuk revitalisasi, bahkan revolusi peternakan, menjadi pertimbangan menjawab isu krusial pembangunan peternakan di era disrupsi.
Konsumen daging tentu memiliki keterbatasan daya beli. Jika harga daging terlalu tinggi, konsumen akan mengalihkan pada sumber protein hewani lain yang murah. Pada situasi daya beli daging sapi berkurang, harga daging akan turun. Keseimbangan antara kemampuan daya beli konsumen dan harga daging yang realistis perlu diupayakan pemerintah.
Di tingkat nasional, produksi daging sapi belum mampu memenuhi permintaan dalam negeri. Menurut Organisation of Economic Cooperation and Development, konsumsi daging sapi nasional 2,2 kg per kapita per tahun di bawah rata-rata dunia sebesar 6,4 kg per kapita. Indonesia memiliki pangsa pasar dengan penduduk 275,77 juta jiwa pada 2022 (terbesar ke-4 di dunia), berimplikasi pada konsumsi produk ternak yang terus meningkat.
Program importasi daging agaknya gagal meredam gejolak harga daging sapi. Perdagingan nasional ibarat sedang sakit. Masih ada optimisme untuk mencapai swasembada, tetapi perlu kemauan politik (political will) yang konsisten. Jika tidak, hasilnya bakal jauh panggang dari api.
Kondisi ini menjadi momentum pemerintah memacu industri peternakan sapi lokal. Keberpihakan pemerintah terhadap sapi lokal juga sebagai wujud perlindungan dan pemberdayaan petani/peternak, sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Ada pelbagai strategi peningkatan nilai tambah (value added) dalam pengembangan sapi potong nasional.
Pertama, perlu inovasi kelembagaan ekonomi peternak dalam skala usaha yang optimal. Usaha peternak rakyat mikro-kecil diorganisasi dalam bentuk korporasi berbadan usaha dan berbadan hukum.
Kedua, perketat pemotongan sapi indukan betina produktif sebagai ”pabrik daging” dan ”pabrik biologi” penghasil anak sapi (pedet). Yang memotong betina produktif sesuai UU No 18/2009 Pasal 18 Ayat (2) dikenai sanksi. Terhadap jerih payah peternak yang memiliki sapi indukan telah beranak 5-15 kali perlu diberi insentif secara proporsional.
Ketiga, perbanyak impor sapi indukan betina produktif yang punya banyak multiplier effect. Mengimpor sapi bakalan berarti mengimpor daging hidup (setelah tiga bulan sapi dipotong/dimanfaatkan dagingnya). Demikian halnya, mengimpor daging beku (artinya siap diolah/dikonsumsi).
Keempat, tingkatkan kapasitas sumber daya manusia perbibitan dan ”pendampingan bisnis” peternak rakyat pemilik 98 persen sapi lokal melalui VBC (Village Breeding Centre). Selama ini, swasembada sulit dicapai sebab sering hanya memikirkan budidaya (on farm), kurang berorientasi pasar. Ke depan, inovasi membangun ”agribisnis peternakan kreatif” dalam sistem peternakan sapi potong yang tangguh amat diperlukan.
ap/kcm/Agus Wariyanto, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Jawa Tengah