agropustaka.id, Pemikiran. Dalam beberapa waktu terakhir kita dihadapkan pada beberapa wabah penyakit hewan yaitu African Swine Fever (ASF), Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), dan Lumpy Skin Disease (LSD). Ketiga penyakit tersebut masuk dalam kategori Transboundary Animal Diseases (TADs), di mana penularannya cepat dan berdampak ekonomi signifikan.
Dampak penyakit hewan tidak terbatas pada faktor ekonomi, tetapi juga faktor lain seperti ancaman kesehatan manusia, kerawanan pangan (food insecurity), dan politik. Dampak yang luas dari penyakit hewan ini dapat dicegah atau diminimalkan melalui layanan kesehatan hewan (veterinary services) yang tangguh di tingkat pusat maupun daerah.
Berhubungan Erat
Kesehatan hewan berhubungan erat dengan kesehatan manusia. Banyak patogen yang menginfeksi manusia berasal atau ditularkan dari hewan. Sebanyak 60% patogen yang menyebabkan sakit pada manusia berasal dari hewan, 75% penyakit infeksius baru pada manusia berasal dari hewan, dan 80% patogen yang berpotensi digunakan sebagai bahan bioterorisme berasal dari hewan (WOAH, 2022).
Penularan penyakit yang berasal dari hewan ke manusia disebut zoonosis. Saat ini lebih dari 200 zoonosis yang mengancam kesehatan manusia. Dari jumlah tersebut ada 13 zoonosis yang bertanggung jawab terhadap 2,2 juta kematian manusia tiap tahunnya (Mia, 2020). Penularan zoonosis bukan terbatas dari hewan pangan (ternak), tetapi hewan kesayangan dan satwa liar juga memiliki potensi menyebarkan zoonosis ke manusia. Saat ini ada 6 zoonosis prioritas nasional yaitu virus influenza (Avian Influenza dan Swine Influenza), zoonosis yang disebabkan virus Corona (COVID-19 dan MERS), rabies, anthraks, Tuberkulosis zoonosis, dan Leptospirosis.
Selain isu zoonosis, ancaman lain bagi kesehatan manusia adalah masalah resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR). Resistensi antimikroba merupakan kondisi saat bakteri, virus, jamur, dan parasit mengalami perubahan seiring dengan waktu, sehingga tidak lagi merespons obat-obatan yang dikonsumsi. Hal ini bisa terjadi disebabkan praktik penggunaan antibiotik yang tidak bijak di peternakan, sehingga produk hewan yang dihasilkan dan dikonsumsi manusia mengandung residu antibiotik.
Resistensi antimikroba merupakan isu kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Jumlah bakteri yang resisten terhadap antibiotik semakin meningkat. Saat ini setidaknya 700 ribu orang meninggal tiap tahun karena AMR dan jika tidak ditangani dengan baik maka AMR dapat menyebabkan kematian 10 juta orang tiap tahun pada 2050 (WHO, 2019).
Ketahanan Pangan
Salah satu bahan pangan yang dibutuhkan manusia adalah pangan asal hewan. Selain kandungan vitamin dan mineral yang tinggi, pangan asal hewan juga memiliki kandungan protein hewani (asam amino) yang penting bagi kesehatan dan kecerdasan manusia. Kebutuhan pangan asal hewan dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada 2050 akan dibutuhkan 70% protein hewani tambahan untuk penduduk dunia (FAO, 2011).
Kebutuhan protein hewani yang terus mengalami peningkatan akan berdampak pada peningkatan produksi produk hewan. Intensifikasi peternakan terus dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumsi produk hewan. Salah satu ancaman serius dalam intensifikasi peternakan adalah penyakit hewan.
Penyakit hewan dapat menyebabkan kematian dan penurunan produktivitas ternak. Lebih dari 20% produksi hewan/ternak secara global hilang dikarenakan penyakit hewan (WOAH, 2023). Kegagalan dalam pencapaian target produksi produk hewan akan berpotensi menyebabkan kerawanan pangan (food insecurity) atau mengancam ketahanan pangan.
Kerugian Ekonomi
Hewan produksi (ternak) merupakan 40% dari total nilai pertanian secara global. Secara global 1,3 miliar orang secara langsung bergantung pada hewan pangan untuk penghidupannya (Ashley et al., 2006). Di Indonesia ada sekitar 13 juta rumah tangga peternakan di Indonesia. Bidang usaha di subsektor peternakan menyediakan banyak lapangan pekerjaan mulai dari usaha di budi daya ternak sampai pengolahan produk hewan/ternak.
Salah satu ancaman terbesar dalam keberlangsungan usaha peternakan adalah penyakit hewan, yang menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Kerugian ekonomi yang terjadi disebabkan oleh kematian dan kesakitan ternak, hilangnya produktivitas ternak, biaya vaksinasi, biaya pengujian, penggantian ternak, hilangnya mata pencaharian peternak, hilangnya pasar, dan lain sebagainya.
Akibat wabah flu burung (Highly Pathogenic Avian influenza/HPAI) pada periode 2004-2007, Indonesia mengalami kerugian ekonomi mencapai Rp 4,1 triliun (Komnas FBPI, 2008). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Naipospos dan Suseno (2017), potensi kerugian akibat wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di Indonesia mencapai Rp 9,9 triliun.
Selain ancaman penyakit, isu lain terkait dengan aspek kesehatan hewan adalah resistensi antimikroba (AMR). Resistensi antimikroba tidak saja berdampak pada kesehatan manusia, tetapi juga memiliki dampak ekonomi yang tidak kecil. Berdasarkan studi yang ada, diperkirakan resistensi antimikroba dapat mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar $300 miliar hingga lebih dari $1 triliun per tahun pada 2050 di seluruh dunia (World Bank, 2019).
Lebih lanjut WHO (2019) menyatakan bahwa apabila isu AMR tidak ditangani dengan tepat, maka pada 2030 dapat menyebabkan 24 juta orang mengalami kemiskinan ekstrem.
Penguatan Layanan
Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur tentang Urusan Pemerintahan Konkuren. Urusan Pemerintahan Konkuren merupakan urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota.
Urusan Pemerintahan Konkuren dibagi menjadi dua yaitu Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Kesehatan hewan merupakan bagian dari urusan pertanian di mana masuk dalam kategori Urusan Pemerintahan Pilihan.
Sejak diberlakukan otonomi daerah, kualitas/kondisi layanan kesehatan hewan di daerah sangat beragam, bahkan di banyak daerah kualitasnya tidak memadai. Hal ini dapat disebabkan karena kesehatan hewan merupakan Urusan Pemerintahan Pilihan bagi daerah sehingga banyak daerah yang tidak menyiapkan resources yang memadai untuk layanan kesehatan hewan.
Salah satu contoh nyata adalah pada saat Indonesia menghadapi wabah flu burung, di mana kebijakan yang ditetapkan di pusat tidak dapat dijalankan secara optimal di daerah karena daerah tidak memiliki sumber daya yang memadai mulai dari kelembagaan, pendanaan, sumber daya manusia, dan fasilitas. Belajar dari kondisi ini, perlu ada penguatan layanan kesehatan hewan di era otonomi daerah.
Ancaman penyakit hewan semakin meningkat dan kompleks. Dalam beberapa dekade terakhir banyak muncul penyakit hewan baru (emerging animal disease). Meningkatnya jumlah emerging animal disease yang muncul dipicu oleh beberapa faktor di antaranya peningkatan lalu lintas hewan dan produk hewan, intensifikasi pertanian yang tidak berkelanjutan, perubahan rantai pasok pangan, meningkatnya penggunaan dan eksploitasi satwa liar, dan perubahan iklim.
Kompleksitas ancaman penyakit hewan harus dijawab melalui peningkatan kapasitas layanan kesehatan hewan. Oleh karena itu penguatan layanan kesehatan hewan mendesak dilakukan untuk mengantisipasi hal tersebut.
Penguatan layanan kesehatan hewan di era otonomi daerah dapat dilakukan dengan menjadikan unsur kesehatan hewan menjadi Urusan Pemerintahan Wajib seperti unsur kesehatan dan pangan. Apabila kesehatan hewan menjadi Urusan Pemerintahan Wajib, maka daerah wajib menyediakan sumber daya yang dibutuhkan untuk menyiapkan kapasitas layanan kesehatan hewan yang mampu menjawab permasalahan atau tantangan kesehatan hewan yang dihadapi.
ap/dtk/drh. Agus Jaelani, M.Si Medik Veteriner Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI