Agropustaka.id, Kabar. Apabila melihat sejarah, perunggasan menjadi salah satu industri pangan yang mempunyai ketahanan dan daya banting yang luar biasa. Mulai dari krisis ekonomi 98, krisis flu burung hingga pandemi covid 19 berhasil dilewati industri ini dengan baik. Walaupun tak dipungkiri bahwa goncangan dan perubahan selalu ada, namun hingga saat ini perunggasan nasional dapat menunjukkan eksistensinya dan justru tumbuh lebih baik lagi.
Hal ini diungkapkan oleh Prof Rachmat Pambudy selaku Guru Besar IPB dalam dalam acara Indonesia Poultry Club (IPC) di Jakarta, Kamis (18/7), ia merasa senang sekali dengan industri perunggasan, dimana menjadi salah satu industri pangan yang sangat kuat dan dibanting berkali-kali pun tidak akan hancur. Pasalnya secara statistik industri ini telah banyak diterpa oleh krisis mulai dari krisis ekonomi 98, wabah flu burung hingga pandemi covid-19.
“Ketika krisis 98 itu, populasi broiler kita kurang dari 1 miliar. Dan begitu selesai reformasi, tidak sampai 5 tahun langsung di atas 2 miliar, bahkan sekarang sudah 3,8 miliar. Yang lebih dahsyat lagi adalah layer, kalau saya tidak salah, tahun 2000 itu produksinya hanya setengah juta ton dan sekarang sudah 5 juta ton. Untuk itu, saya mengajak semua untuk berpikir dan merenung bagaimana perjalanan perunggasan dari tahun ke tahun. Jangan hanya mengingat masa susahnya, namun bagaimana industri pangan terus tumbuh dan berkembang ini juga harus dipikirkan, sehingga kita punya cara untuk mengatasi persoalan kalau terjadi lagi,” jelasnya.
Rachmad melanjutkan persoalan kelebihan produksi perunggasan saat ini, cara menanganinya adalah dengan meningkatkan konsumsi. Bukan mengurangi produksi, karena fenomena yang terjadi saat ini adalah kelebihan produksi karena konsumsi yang kurang.
Lebih lanjut, Rachmad menunjukkan bahwa sampai hari ini negara kaya di dunia seperti Jepang, Inggris, Amerika hingga India juga masih memberikan makan gratis kepada masyarakatnya. Jadi di negara lain itu kalau kelebihan produksi, dibeli pemerintah untuk diberikan dalam bentuk makanan kepada rakyat yang kekurangan.
Menurutnya hal tersebut merupakan dasar daripada program makan bergizi gratis, dimana harus ada government police untuk melakukan intervensi tersebut. “Bagaimana mekanisme penyerapannya? Setiap tempat nantinya akan ada dapur yang akan melayani kebutuhan penerima manfaat. Saat ini anggaran yang sudah dipublikasikan secara resmi pada tahun 2025 adalah 71 triliun.
Apabila perkiraan untuk belanja telur sekitar 10% itu berarti ada 7 triliun. Apabila per kilogram telur itu rata-rata Rp25.000 maka ada sekitar 280.000 ton telur ayam yang setiap saat bisa terserap. Dengan ini, kita lihat bagaimana nanti dari layer pertumbuhannya, jadi semoga tidak ada lagi.
Begitupun pada broiler. Nah tapi kembali lagi, ini kan keinginan Bapak Presiden terpilih dan bagaimana praktiknya kita tunggu bersama. Tapi paling tidak ada harapan untuk mengatasi persoalan yang sudah sekian tahun terjadi di perunggasan,” tambahnya. AP