Jika Sapi Terjangkit PMK, Apakah Sah sebagai Ternak Qurban?

agropustaka.id, Kabar. Tahun 2022, penyakit Mulut dan Kuku (PMK) merebak di Indonesia dan menyerang ternak berkaki empat, salah satunya sapi. Kondisi ini tentu akan berdampak terhadap pemenuhan kebutuhan daging sapi di Indonesia. Lebih dari itu, juga akan menyebabkan permasalahan dalam penyediaan ternak untuk kebutuhan Idul Qurban yang sebentar lagi akan dilaksanakan.

Upaya berkaitan dengan pencegahan wabah PMK tentu sangat penting terlebih berkaitan dengan hari raya idul kurban yang semakin dekat, dimana komoditas sapi menjadi ternak utama dalam penyembelihan ternak kurban. Selain itu, kondisi ini kemungkinan akan membuat harga daging sapi yang meningkat karena kelangkaan sapi yang sehat dari wabah PMK.

Berbagai kepentingan mendesak pemerintah untuk melakukan lockdown terhadap ternak sapi yang terkena wabah PMK untuk mencegah penularan PMK yang semakin meluas. Beberapa daerah melakukan pemulangan ternak kiriman yang tidak lolos inspeksi PMK. Tentu saja apabila lockdown dilakukan akan berpengaruh terhadap berkurangnya ternak daerah yang selama ini mengandalkan ternak dari daerah berbeda.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada melalui Pusat Kajian Pembangunan Peternakan (PKPP) telah menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Sapi PMK, sahkah untuk Qurban?” yang diselenggarakan pada hari Jumat, 20 Mei 2022. Kegiatan tersebut bertujuan untuk:

  1. Memberikan gambaran terkait kondisi peternakan saat ini di tengah merebaknya wabah PMK.
  2. Meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait penanganan ternak di tengah kondisi wabah PMK.
  3. Meningkatkan pemahaman masyarakat terkait pemilihan dan konsumsi daging sapi yang baik dan sehat
  4. Memberikan gambaran kepada masyarakat terkait kosumsi daging dan penggunaan sapi yang terkena PMK ditinjau dari keilmuan veteriner (dokter hewan) dan syariat islam.

Forum Group Discussion dihadiri oleh pembicara dari berbagai pemangku kepentingan di bidang petenakan, yakni drh. Tjahjani Widiastuti (Koordinator Substansi Zoonosis, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ditjen PKH) yang membahas tentang Peran Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kondisi Penyebaran Penyakit Mulut dan Kuku; drh. Hendra Wibawa, M.Si., Ph.D. (Kepala Balai Besar Veteriner Wates) yang membahas tentang Penyakit PMK: Gambaran Klinis, Penularan, dan Diagnosis Penyakit; Ir. Didik Purwanto. IPU. (Pengurus Besar Ikatan Sarjana dan Insinyur Peternakan Indonesia) yang membahas tentang Ketersediaan Hewan Qurban dan Sebaran Populasinya.

Narasumber berikutnya yang hadir yakni Prof. Dr. Ir. Endang Baliarti, SU. (Kepala Laboratorium Ilmu Ternak Potong, Kerja, dan Kesayangan, Dosen Fakultas Peternakan UGM) yang membahas tentang Pemilihan Hewan Qurban yang berkualitas; Prof. Dr. Drs. KH. Makhrus Munajat, SH. M.Hum. (Ketua Komisi Fatwa MUI, Daerah Istimewa Yogyakarta) membahas tentang Tinjauan Syar’i Hewan Qurban dan Kaidah Fiqih Hewan Terjangkit PMK. Acara dipandu oleh Moderator Prof. Ir. Yuny Erwanto, S.Pt., MP., Ph.D., IPM (Wakil Dekan Fapet UGM Bidang Penilitian, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Kerjasama).

Poin-poin penting hasil FGD tersebut yakni:
Pertama, kasus penyakit mulut dan kuku (PMK) pada ternak dikategorikan bukanlah penyakit zoonosis sehingga tidak akan menular kepada manusia, namun mempunyai kecepatan penularan yang tinggi kepada ternak, dan menyebabkan kematian kepada ternak muda.

Kedua, dengan pertimbangan mengurangi madarat yang akan terjadi maka ternak yang secara klinis telah dinyatakan sakit PMK oleh ahlinya, maka ternak tersebut tidak sah digunakan untuk ternak qurban.

Ketiga, dalam hal sohibul qurban sudah melakukan akad dengan penjual, ternak secara klinis sehat dan sudah memastikan bahwa ternak tersebut dijadikan ternak qurban, dan dalam perjalanan waktu mengalami sakit yang secara klinis dinyatakan PMK, maka apabila masa menunggu tinggal sehari dan dipastikan bisa dipotong pada hari nahar atau pemotongan maka dalam kondisi darurat tersebut ternak qurban tersebut dinyatakan sah sesuai niat dari awal. Namun apabila sakitnya terjadi masih dalam jangka yang tidak mungkin sampai pada hari nahar maka ternak tersebut bisa dipotong sebagai sodaqah.

Keempat, cara pemotongan ternak yang terkena penyakit PMK mengikuti prosedur sesuai dengan rekomendasi instansi yang berwenang termasuk penanganan daging pasca pemotongan.

Demikian poin-poin penting hasil FGD antara ulama ahli fiqih dengan ahli dalam bidang peternakan dan Kesehatan hewan tersebut, semoga Allah SWT melindungi dari segala kesalahan. Semoga wabah yang sangat merugikan masyarakat peternak dapat segera teratasi dengan baik. (ap/ugm)