Meneropong Peluang dan Tantangan Industri Perunggasan Indonesia di 2022

Agropustaka.id, Kabar. Industri perunggasan merupakan salah satu industri yang menghasilkan produk peternakan yang sudah surplus. Tingginya angka produksi tersebut juga sejalan dengan tingginya permintaan terhadap produk perunggasan oleh masyarakat Indonesia.

Tahun 2021 tercatat bahwa produksi telur ayam mencapai 5,52 juta ton dengan permintaan sebesar 5,48 ton. Sedangkan dalam industri perunggasan daging sendiri pada tahun 2021 tercatat mampu memproduksi daging unggas sebesar 4 juta dan setara sekitar 3,4 juta ekor ayam hidup, dengan konsumsi daging ayam hanya sebanyak 3,1 juta dan setara 2,7 juta ekor. Dalam hal ini artinya industri perunggasan nasional sudah dapat dikatakan surplus untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) RI melalui program Kedaulatan Indonesia dalam Reka Cipta (Kedaireka) bersama dengan Fakultas Peternakan UGM untuk mewujudkan merdeka belajar bagi seluruh kalangan di Indonesia. Melalui program kolaborasi belajar, Fakultas Peternakan UGM menggandeng PT Widodo Makmur Unggas dan Swasembada Enterprise (PT Swasembada Agri Solusi) untuk menyelenggarakan sebuah kegiatan diskusi nasional mengenai dinamika industri perunggasan di Indonesia.

Kegiatan tersebut diselenggarakan dalam bentuk webinar yang mengambil tema “Outlook Industri Perunggasan di Indonesia: Peluang dan Tantangan” yang diselenggarakan pada hari Sabtu (18/12/2021) secara daring. Kegiatan webinar tersebut diselenggarakan sebagai bentuk respon dari berbagai pihak dalam menghadapi persaingan di industri perunggasan secara global.

Dr. Muhsin Al Anas selaku dosen sekaligus moderator dalam kegiatan webinar memberikan pembukaan dengan gambaran mengenai dinamika perunggasan di Indinesia. Ia mengatakan bahwa konsumsi daging 12-13 kg/kapita/tahun dan telur 30 kg/kapita/tahun. Menurutnya, angka konsumsi tersebut beriringan dengan menguatnya ekonomi masyarakat di Indonesia.

Ali Mas’adi, CEO PT Widodo Makmur Unggas, menjadi pemateri pertama dalam webinar turut memberikan gambaran secara umum mengenai dinamika industri perunggasan di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa konsumsi masyarakat di Indonesia terhadap produk perunggasan masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara lain.

Ia menambahkan bahwa konsumsi yang masih rendah tersebut tentu berkaitan dengan faktor penyebab yang lain, seperti harga produksi yang tinggi sehingga mengakibatkan harga produk unggas menjadi tinggi. Menurutnya, harga yang tinggi akan sulit dijangkau oleh masyarakat, penyebab harga tinggi juga berkaitan dengan dinamika harga livebird yang mengalami volatilitas.

“Jika dibandingkan dengan negara lain, konsumsi terhadap produk perunggasan masih tergolong rendah, hal itu dikarenakan masih tingginya harga produksi yang mengakibatkan harga produk yang masih diluar jangkauan dari masyarakat. Bagi skala industri, adanya fluktuasi harga terhadap produk bahan baku maupun volatilitas sapronak menyebabkan pelaku industri kewalahan untuk mendistribusikan produk unggas karena harga pokok produksi yang tidak ramah konsumen”

Ali menguraikan permasalahan industri perunggasan yang sangat kompleks. Menurutnya, kompleksitas yang terjadi didasari mulai dari kebijakan, harga bahan pakan yang tidak stabil, teknologi, permasalahan lingkungan, permasalahan SDM, dan lain sebagainya. Ia mengatakan bahwa Widodo Makmur Group sebagai perusahaan yang bergerak di bidang industri terintegrasi di bidang peternakan berharap dapat ikut andil dan berkontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan pangan di Indonesia.

“Dalam industri perunggasan pada khususnya, kompleksitas mengenai permasalahan selalu ada, mulai dari kebijakan, teknologi, lingkungan, SDM, dan sebagainya. Widodo Makmur Group selalu berupaya agar dapat selalu mencukupi kebutuhan konsumen secara menyeluruh,” ujarnya. Dalam sesi penutupnya, Ali Mas’adi berharap bahwa produk peternakan di Indonesia dapat menjadi produk yang lebih kompetitif dengan negara lain.

Menurutnya, dengan berpikir optimis dalam melihat peluang dapat menjadikan produk peternakan dapat memiliki prospek yang baik dalam menghadapi pasar global. Ia juga menambahkan bahwa industri peternakan juga harus memikirkan agar ramah lingkungan, sehingga dalam waktu ke depannya dapat berkelanjutan.

Mahardika Agil Bimasono, CEO Swasembada Enterprise sebagai pembicara kedua juga ikut serta menanggapi permasalahan sektor perunggasan di Indonesia. Ia mengawali pemaparan dengan membawakan sebuah gambaran skema mengenai dinamika industri ayam broiler. Menurutnya, industri ayam broiler sudah tertata, seperti alokasi ayam broiler berupa end-product dan livebird akan dikeluarkan oleh peternak ke konsumen tergantung harga jual di pasar.

Ia menambahkan bahwa jika harga tinggi, maka peternak akan menjual ayam dalam bentuk livebird, akan tetapi jika harga sedang di bawah produksi maka peternak akan menjual produk unggas dalam bentuk karkas yang dimasukkan ke dalam cold storage.

“Industri ayam broiler secara umum memiliki skema yang lebih tertata, para peternak cenderung akan menyimpan produk ayam dalam bentuk daging melalui cold storage apabila harga sedang turun, dan akan menjual dalam bentuk livebird apabila harga ayam sedang dalam keadaan baik di atas HPP” ujarnya.

Tak hanya soal permasalahan broiler, Bima juga memberikan pemaparan mengenai dinamika industri ayam layer. Ia berpendapat bahwa industri ayam layer juga tidak luput dari permasalahan produksi hingga distribusi yang masih tertutup mengenai skema yang diberlakukan oleh berbagai pemain yang berada di dalamnya. Ia menambahkan bahwa skema produksi di industri petelur masih di dominasi oleh masyarakat. Hal ini lah yang menjadikan bahwa market ayam layer lebih unik dibandingkan ayam broiler.

“Skema produksi ayam layer masih didominasi oleh masyarakat secara umum, belum terdapat integrator yang berupaya untuk menjangkau produksi telur seperti halnya pada ayam broiler. Dalam hal ini, menjadikan market ayam layer lebih unik dibandingkan dengan market ayam broiler.”

Dalam sesi terakhirnya, Bima menerangkan mengenai sentuhan teknologi di berbagai lini di industri perunggasan sangat penting untuk diperhatikan. Menurutnya, dengan adanya teknologi yang tepat guna dapat berpengaruh terhadap efisiensi di sektor industri. Selain itu, dengan adanya terpaan isu perubahan iklim, ia berharap dengan adanya anak muda yang melek teknologi maka terpaan isu perubahan iklim dapat dibuktikan dengan industri peternakan yang lebih ramah lingkungan. ap/ugm