Agropustaka.id, Kabar. Perkembangan industri perunggasan berjalan begitu pesat, baik dari sisi hulu hingga hilir telah terjadi berbagai perubahan yang cukup signifikan. Contoh dari lini usaha pembibitan unggas saat ini produksi anggota GPPU kalau dimaksimalkan bisa sekitar 4 miliar DOC broiler dan ratusan juta DOC layer. Perkembangan pun juga terjadi di peternak dan pelaku usaha lainnya.
Namun demikian, perkembangan yang terjadi pada sektor usaha atau produksi perunggasan tersebut belum sepenuhnya dibarengi dengan peningkatan konsumsi masyarakat secara signifikan. Pasalnya apabila dilihat dari tingkat konsumsi, perkembangan konsumsi masyarakat Indonesia ini masih sangat rendah. Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) Achmad Dawami dalam sebuah diskusi daring yang mengangkat tema “Masa Depan Perunggasan Indonesia di Mata Ketua Umum GPPU”, Selasa (29/8).
Ia menjelaskan bahwa saat pandemi Covid-19 terjadi, konsumsi ayam masyarakat Indonesia hanya berkisar 8-8,5 kg/kapita/tahun, dan saat ini sudah mulai membaik walaupun masih di kisaran 12 kg/kapita/tahun. “Konsumsi kita masih tertinggal, bahkan dari negara-negara di Asia Tenggara. Apabila menilik negara tetangga seperti Filipina dan Vietnam yang mempunyai pendapatan per kapita masih di bawah Indonesia. Namun konsumsi daging ayam mereka masih di atas kita. Artinya kesadaran kita akan konsumsi protein hewani ini masih rendah. Hasil penelitian dari OECD, menyebutkan bahwa 12 % pendapatan keluarga masyarakat Indonesia dikeluarkan untuk rokok, dan hanya 5 % untuk konsumsi protein hewani. Padahal 1 bungkus rokok harganya sama bahkan lebih dari 1 kg telur. Ini kan kebiasaan yang terbalik,” ungkapnya.
Pertumbuhan produksi yang tidak dimbangi dengan perkembangan konsumsi ini, telah membuat ketidakseimbangan supply demand perunggasan. Hal ini seperti yang saat ini sering terjadi. Keseimbangan ini menjadi sebuah hal yang sangat penting. Ketidakseimbangan supply demand ini akan membawa korban yang bernama harga. “Kalau supply kurang, maka harga akan melambung dan merugikan konsumen. Sedangkan Ketika supply berlebih harga akan jatuh dan merugikan pelaku usaha. Ketika pelaku usaha rugi dan terjadi berkepanjangan maka yang terjadi adalah kebangkrutan. Dan ketika banyak peternak yang bangkrut, maka Indonesia tidak bisa berproduksi, akhirnya impor. Akhirnya yang terjadi apa? Food trap dan kedaulatan pangan kita terancam. Jadi keseimbangan ini menjadi hal yang sangat krusial,” tegas Dawami.
Dari fenomena ini, Dawami mengingatkan untuk semua pelaku usaha bisa bersikap dan mengambil keputusan dengan bijak. Bukan berarti melarang untuk berkembang namun harus memperhatikan situasi yang ada. Semua harus sadar bahwa bisnis ini telah berubah dan ke depan akan terus berubah secara dinamis. Untuk itu semua pemangku kepentingan di perunggasan harus bisa mengikuti perubahan dengan membuat terobosan – terobosan untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi.
“Untuk meningkatkan konsumsi masyarakat, perlu adanya kampanye dan edukasi yang dilakukan secara masif dan berkelanjutan. Di sini pemerintah dapat menjadi lokomotif, dengan menggandeng para pemangku kepentingan untuk terus melakukan kampanye tentang pentingnya konsumsi daging ayam untuk masyarakat Indonesia. Terutama untuk daerah – daerah pelosok yang masih memiliki prevalensi stunting yang tinggi. Selain itu pemerintah memiliki peran yang penting untuk mendistribusikan produk – produk tersebut ke daerah – daerah yang membutuhkan. Kita perlu menyadari bahwa industri perunggasan bisa tumbuh jika didukung dengan konsumsi yang meningkat di seluruh penjuru lapisan masyarakat dengan menyediakan produk yang berkualitas dan terjangkau,” tandas Dawami.
Lebih jauh ia menguraikan, untuk menyediakan produk berkualitas dan terjangkau maka semua proses produksi harus dijalankan seefisien mungkin. Salah satunya dengan memotong mata rantai penjualan (cutting distribution channel). Bagaimana semua pelaku usaha, mendekatkan produknya sedekat mungkin dengan konsumen akhir. Karena berbagai produk ini merupakan hal yang mudah rusak dan tidak mempunyai waktu tunggu yang lama, baik di pembibitan berkaitan dengan makhluk hidup maupun produk peternak berupa daging dan telur yang merupakan produk mudah rusak.
“Nah disini cutting distribution channel berfungsi untuk menjaga kualitas produk. Selain itu, juga untuk memberikan harga yang wajar bagi end user. Hal ini harus diupayakan semua lini usaha. Baik kita di pembibitan mengupayakan distribusi bisa sedekat mungkin dengan peternak sebagai end user. Atau di budi daya, dengan sedekat mungkin peternak mendistribusikan produknya dengan konsumen akhir. Begitupun dengan lini usaha lain. Dengan begitu end user akan mendapatkan produk yang kualitasnya terjaga dengan harga yang terjangkau,” tambah Achmad Dawami. ap/gppu