Agropustaka.id, Kabar. Produk asal unggas dinilai banyak pihak sebagai komoditas pangan asal ternak yang paling siap ketersediaanya dalam memasok kebutuhan program makan bergizi gratis (MBG). Tak hanya mampu berswasembada, baik ketersediaan telur maupun daging ayam ras nasional saat ini bahkan tengah dalam kondisi surplus produksi.
Bukannya menjadi sebuah kekuatan, kondisi surplus ini justru membawa polemik panjang bagi ekosistem perunggasan nasional yang menyebabkan berbagai pelaku usaha mengalami kerugian. Maka cukup beralasan apabila program MBG diharapkan sebagai angin segar perbaikan ekosistem perunggasan nasional.
Ketua IV Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) Asrokh Nawawi menyebutkan, apabila berbicara industri perunggasan, maka harus dimulai dari Grand Parents Stock (GPS). Dimana, jumlah importasi GPS, berdampak langsung kepada jumlah final stock (FS) yang dibudidayakan oleh peternak, dan otomatis akan berpengaruh kepada jumlah telur dan daging ayam yang beredar di pasaran. Dan apabila melihat dinamika di tahun 2024, produksi perunggasan nasional baik telur dan daging ayam masih mengalami surplus produksi.
“Di sebuah acara FGD beberapa waktu lalu, GPPU mendapatkan sebuah pertanyaan tentang kemungkinan kekurangan produksi telur dan daging ayam, apabila mengaca potensi kenaikan demand dampak dari program MBG. Saya jawab dengan yakin, produksi perunggasan kita tidak akan kekurangan. Kenapa saya yakin? Karena apabila kita panen mundur 1 hari saja, kenaikannya bisa 100 gram/ekor/hari di broiler. Apabila 100 gram dikali jumlah DOC yang jumlahnya sekitar 60 juta /minggu, maka pertambahannya bisa mencapai 6000 ton. Dan apabila proporsi yield nya 71%, itu saya kira sudah dapat mencukupi kebutuhan yang diperlukan. Jadi saya kira tidak perlu khawatir akan kekurangan produk perunggasan,” jelasnya dalam sebuah seminar nasional yang diadakan oleh Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) di Cibubur, Selasa (3/12).
Begitupun, pada komoditas telur ayam ras. Asrokh melihat, apabila peternak melakukan penundaan afkir 1 hari saja, maka pertambahan produksi telur itu sudah besar dan bisa memenuhi kebutuhan. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa produk asal unggas ini menjadi produk pangan protein hewani yang paling terjangkau, baik dari sisi harga maupun ketersediaan. Terlebih dengan kemampuan produksi yang sangat cepat, sehingga bisa fleksibel dan menyesuaikan kebutuhan pasar. Berbeda dengan komoditas lain, seperti kambing, kerbau ataupun sapi yang apabila terjadi kekurangan produksi membutuhkan waktu yang lama untuk menambalnya.
“Dan apabila melihat tahun 2025 dengan mengaca jumlah GPS yang masuk di tahun 2023, maka diproyeksikan masih terjadi surplus produksi. Baik di telur maupun di daging ayam ras. Hal ini sekaligus menjadi gambaran yang positif bahwa produk perunggasan ini telah siap mencukupi kebutuhan program MBG ke depan,” tegas Asrokh Nawawi. AP