Membangun Peternakan Sapi

Agropustaka.id, Pemikiran. Kebijakan sebuah pembangunan harus berlandaskan kajian akademik atau dikenal dengan “policy based on science”. Selain itu suatu kebijakan secara teknis harus fisibel dan dapat dilaksanakan oleh pelaku bisnis (stakeholder). Secara ekonomis menguntungkan (profitable) bagi semua pihak dan secara sosiologis dapat diterima (acceptable) masyarakat dan berdampak futuristik ke depan serta memberikan dampak positif terhadap pembangunan.

Dalam pengembangan peternakan sapi pedaging, kebijakan pembangunan terhadapnya adalah usaha meningkatkan produksi, dalam rangka ketersediaan produksi dalam negeri. Usahanya berkelanjutan, artinya ternak bukan hanya komoditi tapi juga sumber daya. Dan usahanya menguntungkan, usaha ini mampu memberikan kesejahteraan bagi peternak.

Kebijakan kontroversial

Sekurangnya ada tujuh kebijakan yang kontra produktif dalam membangun peternakan: Pertama, larangan penggunaan hormon pertumbuhan pada usaha ternak sapi pedaging tertera dalam UU 41/2014 pasal 22, ayat 4 C. Kebijakan ini tidak konsisten dengan realitanya, yaitu negeri ini melakukan importasi daging dan sapi dari negara-negara yang menggunakan hormon pertumbuhan. Artinya, pemerintah tidak berpihak kepada peternak sapi yang ada di dalam negeri. Tentunya, peternak tidak akan mampu bersaing di dalam sistem perdagangan global, karena dilarang menggunakan input teknologi. Jika kita berkeinginan sesuai dengan Nawacita, seharusnya peternak di dalam negeri diperbolehkan menggunakan hormon pertumbuhan sesuai dengan persyaratan yang berlaku.

Kedua, kebijakan yang menyangkut lama pemeliharaan penggemukan sapi pedaging minimal 120 hari, (lihat UU 41/2014 tentang PKH, pasal 36B, ayat 5). Kita semua sangat paham bahwa teknologi digunakan untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Pada kasus usaha penggemukan, dikenal dengan konsep “pertumbuhan kompensasi”. Dimana peternak, memanfaatkan waktu yang tercepat untuk menghasilkan pertambahan berat badan yang paling optimal. Bukan diukur dengan lamanya waktu pemeliharaan ternak minimal 120 hari.

Ketiga, kebijakan mengenai perubahan pendekatan pembangunan dari produksi kepada harga daging sapi (lihat Permendag 699/2013). Kebijakan ini jelas-jelas keberpihakan pemerintah hanya kepada konsumen. Pasalnya, penetapan harga daging sapi Rp 80 ribu/kg yang hingga kini belum terwujud, telah melahirkan kebijakan impor daging yang tanpa kendali. Sesungguhnya, kebijakan harga ini dapat digunakan sebagai rujukan bukannya patokan.

Keempat, kebijakan perubahan berat badan pada impor sapi bakalan dari 350 kg menjadi 450 kg (Permentan 49/ 2016 ke 02/ 2017 pasal 15). Kebijakan ini akan berdampak terhadap penurunan pendapatan usaha penggemukan. Pasalnya, jenis dan bangsa sapi yang diimpor selama ini secara fisiologis berat badan 350 kg/ekor merupakan berat yang optimal bagi sapi bakalan untuk menghasilkan sapi siap potong 500 kg/ekor.

Bisa dibayangkan jika berat badan 450 kg dipelihara selama 120 hari akan menghasilkan sapi siap potong sekitar 600 kg/ekor. Padahal konsumen para jagal menyukai sapi-sapi dengan berat 400-500 kg/ekor. Sehingga, sapi sapi dengan berat “jumbo=600 kg” harga per kilogramnya akan lebih murah. Sebaiknya, kebijakan ini dikembalikan kepada kebijakan asalnya, yaitu berat badan sapi bakalan impor di rata-rata 350 kg/ekor

Kelima, kebijakan membebaskan impor daging dan sapi (lihat Permentan No 17/2016, 34/2016 dan permendag 59/2016). Kebijakan ini sesungguhnya bisa dilakukan, jika saja input teknologi maupun usaha budidaya peternak di dalam negeri sama dengan manajemen di negara eksportir sapi ke negeri ini. Sehingga kompetisinya dilakukan dengan konsep “apple to apple”. sesungguhnya kebijakan importasi daging dan sapi dilakukan hanya jika diperlukan untuk memeuhi kebutuhan konsumen serta merangsang produksi ternak di dalam negeri.

Keenam, kebijakan membuka impor dari negara yang belum bebas PMK (lihat PP 4/2016 dan SK Mentan No.2556/2016). Kebijakan ini jelas-jelas bertentangan dengan UU No.41/2014 tentang PKH pasal 36E ayat 1. Dampak dari kebijakan ini, dikhawatirkan menyebabkan terjadinya outbreak PMK yang sangat membahayakan. Selain itu, menurut penelitian Pataka (2017), peternak sapi pedaging rakyat di dalam negeri mengalami kerugian sekitar Rp 30 triliun rupiah, sebagai akibat intervensi harga daging impor dari India. Sesungguhnya, jika kebijakan yang lebih rendah bertentangan dengan UU No. 41/2014, maka kebijakan tersebut sejatinya batal demi hukum. Oleh karenanya, kebijakan Impor daging dari India harus segera dihentikan.

Ketujuh, kebijakan rasio impor sapi bakalan dengan indukan (lihat Permentan 02/2017 pasal 7). Kebijakan ini akan dievaluasi akhir tahun 2018. Berdasarkan hasil análisis kebijakan ini akan mematikan bisnis penggemukan, pengurasan populasi sapi local dan sapi perah serta meningkatnya pemotongan sapi betina produktif. Selain itu akan meningkatkan importasi daging sapi yang berdampak terhadap penurunan produktivitas usaha tani di perdesaan. Oleh karenanya kebijakan ini harus direorientasi menjadi berdasarkan kapasitas kandang (20%), bukanya terhadap volume impor sapi (5:1). Kebijakan rasio impor sapi indukan berdasarkan 20% kapasitas kandang, harus melibatkan peternak rakyat sebagai plasma.

Sesungguhnya, usaha pembiakan sapi pedaging merupakan kewajiban pemerintah sesuai denngan amanat UU No. 41/2014 pasal 13. Oleh karenanya, jika dilakukan oleh peternak usaha perbibitan atau pembiakan seharusnya diberi insentif berupa suku bunga bank <5%, grace period 18 bulan, bebas bea masuk bagi sapi indukan serta perlu difasilitasinya kemitraan antara korporasi dengan peternak rakyat.

Harmonisasi

Berdasarkan ketujuh kebijakan yang kontra produktif tersebut, seharusnya segera pemerintah melakukan harmonisasi kebijakan yang merangsang pertumbuhan populasi ternak di dalam negeri. Hal yang sangat perlu dilakukan adalah menghentikan importasi daging asal India, karena melanggar UU No. 41/2014. Selanjutnya, yang paling mendasar adalah keharusan kebijakan pembangunan peternakan berbasis hasil kajian yang kredibel. ap/pr/rochadi tawaf