Revisi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan

Agropustaka.id, Pemikiran. Bisnis peternakan yang tidak kondusif telah menyebabkan usaha peternakan di dalam negeri semakin tidak bergairah. Kegagalan membangun peternakan sapi potong selama ini, antara lain, ditunjukkan oleh kegagalan program swasembada daging sapi yang dicanangkan sejak tahun 2000 hingga saat ini.

Menurunnya populasi sapi potong yang sangat signifikan dari 18,6 juta ekor (2022) menjadi 11,3 juta ekor (sensus BPS, 2023) telah menyebabkan terjadinya peningkatan kontribusi impor daging dan sapi dari 32 persen tahun 2016 menjadi 55 persen tahun 2023.

Di samping itu, selama lima tahun terakhir, telah terjadi karut-marut usaha perunggasan yang tak kunjung selesai. Kerugian usaha peternakan unggas menyebabkan bangkrutnya usaha peternakan unggas rakyat.

Selain itu, juga merebak penyakit eksotis ternak, seperti penyakit mulut dan kuku (PMK) pada ternak berkuku genap, LSD pada sapi, dan ASF pada babi.

Semua ini diduga sebagai akibat dari longgarnya kebijakan pemerintah dalam pemasukan ternak dan produk ternak dari luar. Bisnis yang tidak kondusif ini juga menyebabkan usaha peternakan di dalam negeri semakin tidak bergairah.

Hal ini akan berdampak pada ketergantungan impor yang semakin membesar. Mengapa semua ini terjadi? Ada yang salah dalam manajemen pembangunan peternakan nasional.

Kegagalan pembangunan

Di berbagai forum diskusi, para tokoh nasional dan akademisi menunjukkan bahwa permasalahan dan penyebab utama kegagalan pembangunan peternakan berawal dari kebijakan dasarnya.

Kebijakan yang dimaksud adalah Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU PKH) Nomor 41/2014 jo UU PKH Nomor 18/2009, dan diperbaiki lagi dalam UU Cipta Kerja Nomor 11/2020. Pasalnya, hanya dalam waktu yang tidak lama, sejak UU Nomor 18/2009 diundangkan, masyarakat peternakan sapi dan perunggasan telah melakukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

UU PKH tercatat telah diajukan untuk diuji materi di MK sebanyak tiga kali oleh masyarakat peternak sapi, yaitu pada tahun 2010, 2015, dan 2022, serta oleh masyarakat perunggasan pada tahun 2015.

Demikian juga halnya dengan kebijakan turunannya, yang digugat pula ke Mahkamah Agung pada tahun 2022. Artinya, UU PKH sejak awal tidak mampu mengantisipasi perubahan yang tengah terjadi di masyarakat peternakan.

Faktor penyebab

Beberapa faktor yang merupakan kelemahan sekaligus menjadi penyebab digugatnya UU ini, antara lain, UU PKH Nomor 41/2014 jo UU Nomor 18/2009 yang diperbaiki dalam UU Cipta Kerja Nomor 11/2020 tidak mengatur sepenuhnya perilaku aktor pelaku usaha peternakan.

UU ini lebih banyak mengatur teknis mengenai ternaknya, padahal yang menjadi sasaran pembangunan adalah kesejahteraan masyarakat pelaku usaha peternakan.

Selain itu, UU ini juga hanya fokus pada subsistem budi daya yang seharusnya mengatur pembangunan peternakan secara menyeluruh dari hulu ke hilir, mengikuti pola agribisnis peternakan. Lebih parah lagi, dalam UU ini, tidak ada satu kata pun yang menyebut unggas sebagai komoditas ternak.

Seolah-olah UU ini hanya ditujukan pada ternak ruminansia. Padahal, ruang lingkup peternakan meliputi ternak ruminansia besar dan kecil, babi, unggas dan ternak harapan lain.

Di sisi lain, preambul dalam UU ini mengamanatkan mengenai kesejahteraan masyarakat dengan melakukan pengamanan maksimal (maximum security). Faktanya, batang tubuh UU ini melonggarkan kebijakan maximum security.

Sebagai dampaknya, telah terjadi wabah penyakit hewan strategis, seperti PMK, LSD, serta ASF yang sangat menyengsarakan masyarakat produsen dan konsumen peternakan.

Belajar dari kegagalan

Berdasarkan kondisi yang telah terjadi dan belajar dari kegagalan pembangunan peternakan selama ini, UU PKH seharusnya diarahkan untuk menyejahterakan peternak dengan usahanya. Sebab, jika peternak dan usahanya kondusif dan menguntungkan, tentu peningkatan produksi dan produktivitasnya akan terjadi.

Untuk itu, pola pikir yang harus dimiliki oleh pemerintah adalah peternak merupakan subyek dari pembangunan dan ternak tidak dipandang sebagai obyek komoditas, tapi merupakan sumber daya.

Secara operasional, program pemerintah seyogianya memanfaatkan sumber daya genetik lokal sebagai unsur utama dalam upaya peningkatan produksi, bukannya melalui impor.

Orientasi peningkatan kesejahteraan peternak dapat dilakukan melalui unsur pemanfaatan input teknologi peternak skala kecil yang seharusnya menjadi besar dengan pembinaan intensif pemerintah atau oleh industri skala besar.

Semangat UU PKH dalam pembangunan peternakan, operasionalisasinya fokus pada upaya mengefisienkan usaha skala kecil yang bertumbuh menjadi besar sehingga produknya berdaya saing.

Untuk itu, perlu dilakukan ”definisi ulang” dari nomenklatur peternakan yang mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Perubahan nomenklatur peternakan harus mampu menggambarkan bahwa peternakan harus memiliki basis lahan dan pakan yang cukup, pemeliharaan berbasis kesejahteraan hewan, dan digitalisasi yang ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat dalam penyediaan produk dan jasanya.

Ruang lingkupnya, mengikuti konsep sistem agribisnis peternakan dari hulu ke hilir dengan tagline ”dari kandang sampai ke meja makan untuk kesejahteraan”.

Profesi peternakan

Demikian pula perlu adanya perhatian khusus bahwa sarjana peternakan secara resmi telah menjadi ”profesi insinyur peternakan”.

Pemberlakuan UU Nomor 11/2014 tentang Keinsinyuran merupakan salah satu landasan hukum pengembangan keprofesian insinyur di Indonesia.

Artinya, lebih dari 100 perguruan tinggi peternakan di Indonesia akan mampu menyiapkan sarjana profesi peternakan layaknya bidang profesi lainnya, seperti dokter hewan, notaris, dokter umum, dan sebagainya.

Ini merupakan kekuatan dukungan sumber daya manusia profesional yang lebih berdaya dan berhasil guna untuk mampu menghasilkan produk peternakan yang berdaya saing. Konsekuensi logisnya, pembangunan peternakan harus dilengkapi juga dengan otoritas keinsinyuran dan sistem peternakan nasional yang harus diamanatkan dalam UU PKH guna mengawal pembangunan tersebut. Dengan demikian, kehadiran profesi insinyur peternakan sebagai unsur pengawal pembangunan merupakan keniscayaan dalam UU PKH yang harus segera dirumuskan.

Melihat perjalanan terbitnya UU PKH selama ini, pemerintah dan DPR melakukan perubahan di akhir masa jabatan lima tahunannya. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan bekal bagi pemerintahan (yang baru) hasil pemilu.

Untuk itu, saat ini merupakan momentum yang sangat tepat apabila pemerintah dan DPR segera melakukan upaya menata ulang UU PKH sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan menuju Indonesia Emas 2045, mendukung cita-cita Indonesia menjadi lumbung pangan Asia.

ap/kcm/rochadi tawaf, dewan pakar pb ispi dan penasihat persepsi