Agropustaka.id, Pemikiran. Seluruh pabrik pengolah susu diwajibkan menerima (total) produk susu peternak lokal. Sebagai prioritas sistem pengadaan susu, produksi lokal wajib “habis diserap.” Sehingga tidak boleh terjadi lagi penolakan susu segar oleh pabrik. Pemerintah juga akan membina peternak sapi perah, menghasilkan susu yang lebih baik, dan higienis. Kecukupan (ke-mutu-an) susu segar nasional, akan ditopang dengan pengadaan bibit sapi perah unggul.
Memerah susu telah menjadi profesi banyak petani, sejak berabad-abad silam. Hampir setiap daerah memiliki sentra usaha per-susu-an, yang diperdagangkan secara cepat pada pagi hari. Namun susu segar memiliki kendala waktu simpan. Yakni, hanya bisa bertahan selama 2-4 jam di suhu ruang. Hal ini karena susu segar tidak mengalami proses pasteurisasi masih mengandung mikroorganisme. Sehingga dengan metoda TPC (Total Plate Count, total bakteri dalam susu) masih bisa dijejaki.
TPC sekaligus menjadi semacam “rendemen” kualitas susu. Semakin TPC, harga susu makin rendah. Pada zaman moderen, kehadiran industri pabrik pengolah susu, menjadi “alat” ke-ekonomi-an susu segar. Bisa meng-awet-kan susu sampai beberapa bulan, sekaligus mengubah bentuk susu yang semula cair, menjadi padat. Standar perdagangan susu internasional, juga memiliki Codex. Yakni, standar yang mengatur berbagai aspek susu, dalam rangkaian proses, sejak sapi berusia muda.
Codex, meliputi antara lain, kebersihan pangan, pelabelan, dan tingkat keamanan bahan tambahan. Standar Codex Alimentarius untuk susu dibentuk oleh FAO (Badan Pangan Dunia) dan WHO (Badan Kesehatan Dunia). Tujuannya melindungi konsumen susu segar. Ironis, susu lokal sejak lama memiliki kadar TPC yang cukup tinggi. Juga standar codex yang rendah (karena memiliki kadar lemak yang tinggi). Tampakan susu lokal lebih encer.
Harga susu bergantung pada kandungan gizinya. Untuk mendapatkan kualitas susu yang baik, harus dilakukan melalui peternakan yang baik. Terutama kebersihan sapi, higiene pemerah, sanitasi peralatan, dan sanitasi kandang. Petani peternak memaklumi kualitas susu yang dihasilkan. Selalu kalah harga dibanding susu impor. Harga susu segar di tingkat peternak lokal di Indonesia berkisar antara Rp 4.500-5.000 per-liter. Peternak tidak memiliki alat ukur kualitas susu.
Sedangkan susu impor harganya hampir sama. Maka kalangan industri pengolah susu (IPS) memilih susu impor, yang kualitasnya lebih baik. Ulah IPS menyebabkan produksi, dan perdagangan susu segar dalam keadaan “tidak baik-baik saja.” Padahal produk local, hanya 20% dari kebutuhan nasional. Sampai peternak (sapi perah) di Pasuruan, Jawa Timur, membuang susu hasil perah. Karena ditolak pabrik. Aksi buang susu akan menyebabkan trauma mendalam nafkah peternakan, setelah terguncang PMK (Penyakit Mulut dan Kuku).
Niscaya mengancam ketersediaan susu akan semakin bergantung impor sampai 90%! Pemerintah patut waspada, penolakan produk susu lokal sebagai “sabotase” program makan siang bergizi. Saat ini kebutuhan nasional mencapai 4,3 juta ton per-tahun. Tergolong rendah dibanding jumlah penduduk Indonesia yang telah mencapai 282 juta jiwa. Konsumsi susu per-kapita ditaksir masih sekitar 16,5 kilogram per-tahun.
Pemerintah telah berjanji akan membina peternak untuk menghasilkan susu yang lebih berkualitas. Terutama memperbaiki kandang, dan memperbaiki saran perah susu menggunakan timba stainless steel. Juga edukasi sarana dan cara perah yang baik dan benar. Begitu pula kalangan IPS, wajib mengeluarkan CSR (Corporate Social Responsibility, tanggungjawab sosial perusahaan) sebagai ke-mitra-an.
Terdapat regulasi lex specialist berupa PP Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Sehingga kualitas susu lokal menjadi tanggungjawab bersama, termasuk IPS. AP/Bhirawa