Tata Ulang Persusuan Nasional

Agropustaka.id, Pemikiran. Beberapa hari terakhir ini telah terjadi tragedi pada peternak sapi perah di Boyolali, Jawa Tengah, dan Pasuruan, Jawa Timur. Mereka melakukan aksi buang susu karena bermasalah dengan pajak dan industri pengolahan susu yang tidak mau menampung hasil produksi mereka.

Kejadian buang dan mandi susu sebagai bentuk aksi protes dan keputusasaan dari para peternak sapi perah ini seperti mengulang peristiwa pembuangan susu tahun 1980-an pada saat Bustanil Arifin menjabat sebagai Menteri Koperasi/Kepala Bulog.

Ironisnya, pada 10 Oktober 2024, Dewan Persusuan Nasional telah menganugerahkan gelar ”bapak peternak sapi perah rakyat dan koperasi susu” kepada almarhum Letjen Bustanil Arifin. Penghargaan diberikan atas jasanya dalam pengembangan persusuan nasional.

Bagaimanapun, kita perlu belajar dari keberhasilan yang telah dilakukan Bustanil Arifin pada masa lalu dalam pengelolaan persusuan nasional dan juga dalam kaitan dengan penyediaan susu untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saat ini.

Industri susu, dari era ke era
Sejak sapi perah diintroduksikan oleh pemerintah kolonial Belanda tahun 1800-an, beberapa periode penting perkembangan persusuan nasional bisa kita catat sebagai berikut.

Pertama, era keemasan (1979-1990). Pada era ini, pengembangan sapi perah terjadi secara spektakuler. Populasi sapi perah tajam dari 94.000 ekor menjadi 325.000 ekor. Peningkatan populasi ini terutama disebabkan oleh impor sapi dara Friesian Holstein/Fries Hollands (FH) sekitar 80.000 ekor dari Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat (AS).

Produksi susu meningkat dari 25.000 ton menjadi 382.000 ton per tahun. Rasio impor susu dibandingkan dengan produksi susu segar dalam negeri (SSDN) menurun dari 20:1 menjadi 2:1. Jumlah koperasi/koperasi unit desa (KUD) susu meningkat dari 11 unit menjadi 200-an unit koperasi/KUD susu.

Hal ini terjadi karena komitmen kuat pemerintah untuk mengembangkan peternakan sapi perah. Beberapa kebijakan strategis, antara lain, ialah kebijakan surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri (Pertanian, Koperasi/UKM, dan Perindustrian) yang mengatur rasio penyerapan SSDN dengan impor.

Selain itu, ada kebijakan Panca-Usaha Sapi Perah (PUSP) sebagai pola kredit sapi perah, Inpres Nomor 2 Tahun 1985 tentang Persusuan Nasional serta pembentukan kelembagaan koperasi/KUD persusuan di bawah koordinasi Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI).

Kedua, era pasar bebas (1990-an-2000). Di era ini terjadi krisis ekonomi Asia 1997 yang berdampak pada industri persusuan nasional. SSDN yang diproduksi peternakan rakyat turun kontribusinya menjadi 25 persen, sementara 75 persen dari kebutuhan nasional sisanya dipenuhi dari impor. Populasi sapi perah saat itu tinggal 300.000-an ekor.

Penyebab utama turunnya kontribusi SSDN adalah karena pemerintah telah menandatangani letter of intent dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan kemudian menerbitkan Inpres No 4/1998 yang mencabut Inpres No 2/1985 tentang kewajiban industri pengolahan susu (IPS) untuk menyerap SSDN dari peternakan rakyat. Ini konsekuensi dari masuknya Indonesia ke dalam perdagangan bebas dunia. Sejak saat itu, tak ada lagi kebijakan proteksi terhadap peternakan sapi perah rakyat.

Ketiga, era swasembada daging sapi (2000-2010). Di era ini terjadi kenaikan harga susu dunia yang relatif tinggi, tetapi tidak dinikmati peternak rakyat karena tidak adanya proteksi sebagai dampak dari globalisasi persusuan nasional. Di era ini peternak sapi perah membentuk Dewan Persusuan Nasional (DPN) sebagai respons atas kondisi yang merugikan peternak sapi perah.

Era ini, disebut pula sebagai era ”program swasembada daging sapi”, di mana program swasembada daging sapi telah berdampak negatif pada perkembangan peternakan sapi perah rakyat. Pasalnya, di era ini terjadi depopulasi sapi perah yang sangat signifikan berkisar 20-30 persen. Penyebab utamanya, harga daging mahal dan anjloknya harga susu, menyebabkan peternak sapi perah menjual sapinya sebagai daging sapi.

Keempat, era cetak biru persusuan dan wabah penyakit (2010-2024). Pada 2012, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Perekonomian merumuskan Cetak Biru Persusuan Nasional 2012-2025 yang direvisi pada 2013. Ternyata, cetak biru persusuan lain juga dibuat Kementerian Pertanian, disebut Blue Print Persusuan Nasional (2010-2014).

Semua kebijakan ini pada dasarnya diarahkan pada: a) peningkatan produksi SSDN; b) peningkatan konsumsi SSDN; c) pengembangan industri pengelolaan susu; dan d) pengembangan pemasaran.

Selain itu, pada 2016 Kementerian Koperasi dan UKM berinisiatif menyusun rancangan peraturan presiden tentang pengembangan persusuan nasional, tetapi lalu terhenti pembuatannya.

Cetak biru persusuan nasional ataupun rancangan perpres ini sebenarnya diharapkan akan mampu membangunkan kembali industri peternakan sapi perah rakyat berbasis SSDN yang terpuruk. Hal ini disebabkan peternakan sapi perah dibiarkan keberadaannya oleh pemerintah tanpa kendali dan perlindungan sama sekali.

Pada 2019 telah terjadi pandemi Covid-19, disusul dengan wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) serta lumpy skin deseases (2022). Penyakit ini telah menurunkan populasi ternak sapi perah sekitar 30 persen, selain menyebabkan anjloknya produksi susu. Saat ini kemampuan produksi SSDN sekitar 0,9 juta ton, turun sekitar 30 persen dari prediksi tim peneliti Puslitbangnak yang sebesar 1,29 juta ton (Bahri dkk 2017).

Potret buram persusuan nasional
Kondisi persusuan nasional sangat terpuruk pascakrisis ekonomi 1997/1998 hingga kini. Nasib peternak masih jauh dari harapan untuk hidup layak.

Berdasarkan cetak biru persusuan nasional, target konsumsi susu dalam negeri pada 2026 akan terpenuhi sekitar 60 persen. Target ditetapkan dengan asumsi produktivitas sapi perah sekitar 20 liter/hari, konsumsi susu meningkat menjadi 30 liter/kapita/tahun, populasi sapi perah 1,8 juta ekor, dan populasi betina laktasi meningkat menjadi 50 persen dari populasi betina produktif.

Namun, faktanya, peternak tak mampu berprestasi sesuai dengan cetak biru tersebut. Kemampuan kontribusi SSDN cenderung menurun dari baseline 22 persen menjadi hanya sekitar 18 persen saat ini. Jumlah koperasi/KUD susu turun dari 200-an unit menjadi 50 unit. Juga terjadi depopulasi sapi dan produksi susu berkisar 30-40 persen.

Peternak sapi perah seharusnya akan segera bangkit, dengan adanya program MBG dari Presiden Prabowo, jika mereka dilibatkan. Dalam kaitan itu, perlu juga dipertimbangkan mengenai sarana daya tampung industrinya. Saat ini kapasitas terpasang dari 88 IPS sebesar 4,64 juta ton untuk memenuhi kebutuhan susu nasional 4,45 juta ton.

Sementara jika MBG melayani 82,9 juta orang saja selama lima tahun, pada tahun kelima (2029) diperlukan 3,78 juta ton susu per tahun (CNBC Indonesia, 2024). Artinya, selama lima tahun, pemerintah baru harus mampu membangun infrastruktur persusuan dua kali lipat dari kondisi sekarang.

Jika asumsi ini tidak dipenuhi, bukan mustahil di negeri ini akan terjadi banjir/kolam susu nasional.

Belajar dari pengalaman masa lalu dan kondisi saat ini, perlu penataan ulang kebijakan persusuan. Salah satunya, kebijakan Presiden tentang persusuan yang mengatur bahwa program susu gratis wajib menggunakan SSDN minimal 50 persen. SSDN masuk sebagai komoditas bahan pokok penting dan masuk dalam program susu sekolah atau Program Makanan Tambahan Anak Usia Sekolah, serta fasilitas kredit program.

Keempat kebijakan dasar ini merupakan prasyarat yang harus dipenuhi guna mendukung keberhasilan program MBG yang berkelanjutan.

ap/kcm/Rochadi Tawaf, Pengurus Dewan Persusuan Nasional