Telur dan Susu untuk Tengkes, Bukan Biskuit

Agropustaka.id, Pemikiran. Untuk anak-anak yang dalam pertumbuhan, kebiasaan mengonsumsi produk peternakan yakni telur dan susu merupakan jaminan untuk mendapatkan gizi yang baik guna menopang pertumbuhan fisik dan kecerdasannya.

Menteri Kesehatan telah mengumumkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022. Hasilnya, prevalensi tengkes atau stunting anak balita di Indonesia turun menjadi 21,6 persen. Angka ini turun sebesar 2,8 persen dari angka SSGI tahun sebelumnya (24,4 persen). Capaian Indonesia dalam menurunkan tengkes harus disyukuri dan diapresiasi.

Angka penurunan stunting atau tengkes di Indonesia ini jauh lebih baik dibandingkan penurunan rata-rata di Peru dari 2005-2016 (29,8 persen menjadi 13,1 persen atau 1,5 persen per tahun) dan Vietnam 2005-2015 (33,2 persen menjadi 24,6 persen atau hanya 0,9 persen per tahun). Bahkan, penurunan di Peru dari 2014 ke 2015 (14,6 persen ke 14,4 persen) dan dari 2015 ke 2016 (14,4 persen ke 13,1 persen) hanya 1 persen.

Meski capaian penurunan tengkes relatif baik, untuk mengejar target prevalensi menjadi 14 persen di tahun 2024 bukanlah hal mudah. Presiden Joko Widodo mengkritik Kemenkes karena masih memberikan bantuan berupa biskuit bagi anak-anak balita untuk mencegah tengkes.

Pemberian biskuit memang langkah mudah, tetapi sebetulnya tidak tepat sasaran. Sementara Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengaku telah salah mengupayakan pencegahan tengkes dalam memenuhi kebutuhan gizi anak melalui biskuit.

Dampak tengkes yang dialami anak-anak telah banyak dipelajari. Ketika mereka memasuki usia sekolah, skor kemampuan membacanya lebih rendah 11-15 poin. Bahkan ketika dewasa, rata-rata penghasilan per kapita per tahun anak penderita tengkes lebih rendah 650-900 dollar AS dari pada anak normal.

Laporan global Unicef tentang Perkembangan Asupan Gizi Ibu dan Anak menyatakan bahwa Indonesia memiliki jumlah anak dengan keterhambatan pertumbuhan terbanyak kelima di dunia. Fenomena gunung es sangat tepat menggambarkan masalah gizi di Indonesia. Penderita gizi kurang (termasuk tengkes) tanpa penanganan yang baik akan menjadi bencana nasional, akan lahir generasi yang pertumbuhan fisiknya tidak optimal dan terganggu kecerdasannya.

Keteledoran dalam pembangunan gizi akan mengakibatkan munculnya the lost generation 20 tahun yang akan datang.

Permasalahan gizi bukan sekadar masalah kesehatan, melainkan cerminan masalah daya beli, ketersediaan pangan, pengetahuan gizi, dan faktor sosio-budaya. Indonesia belum terbebas dari problem kemiskinan. Oleh sebab itu, masalah gizi akan senantiasa mengintip kelengahan kita.

Keteledoran dalam pembangunan gizi akan mengakibatkan munculnya the lost generation 20 tahun yang akan datang. Kurang pangan yang dialami anak-anak Indonesia dan memicu tengkes adalah potret ketidaktahanan pangan dan gizi.

Konsumsi telur

Kemajuan ekonomi suatu masyarakat ternyata diikuti oleh meningkatnya konsumsi telur. Amerika Serikat dapat dikatakan sebagai konsumen telur tertinggi, yaitu 314 butir per orang per tahun, Inggris 290 butir, Jepang 269 butir, negara-negara Eropa lain 210 butir, dan Indonesia 125 butir.

Untuk anak-anak yang masih dalam pertumbuhan, kebiasaan mengonsumsi telur merupakan jaminan untuk mendapatkan intake gizi yang baik untuk menopang pertumbuhan fisik dan kecerdasannya. Studi menyebutkan bahwa anak baduta (bawah dua tahun) yang mengonsumsi telur sebutir sehari pertumbuhan tinggi badannya lebih baik. Studi ini bisa menjadi landasan intervensi tengkes. Ianotti dkk (2017) dalam artikelnya di jurnal ilmiah Pediatrics, ”Eggs and Complementary Feeding Child Growth: A Randomized Controlled Trial”, menyimpulkan bahwa intervensi sebutir telur sehari selama enam bulan menurunkan tengkes sebesar 47 persen.

Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah pusat telah mengalokasikan dana desa lebih kurang Rp 1 miliar per desa. Sebagian dana tersebut harus dialokasikan untuk pengentasan tengkes. Dengan memberi bantuan telur sebutir sehari, hanya diperlukan Rp 600.000 per anak per tahun. Apabila jumlah anak tengkes per desa 30 anak, hanya perlu Rp 20 juta per tahun atau hanya 2 persen dari dana desa.

Saat ini masih terdapat 25 juta rakyat miskin di Indonesia yang terkendala akses pangannya, terutama pangan hewani yang memang mahal untuk ukuran mereka. Peningkatan kesejahteraan rakyat akan menjadi entry point untuk meningkatkan konsumsi pangan hewani.

Dengan mengonsumsi telur setiap hari, maka anak-anak kita akan mempunyai pertumbuhan fisik yang baik karena memperoleh protein berkualitas tinggi. Harga yang terjangkau menjadi prasyarat penting agar telur bisa diakses oleh kebanyakan keluarga di Indonesia.

Budaya minum susu

Momentum Hari Gizi Nasional untuk peningkatan konsumsi pangan hewani perlu mendapat perhatian kita semua. Upaya menggalakkan minum susu juga dapat menjadi salah satu mata rantai untuk meraih sumber daya manusi yang bermutu. Tanpa endorsement dari pemerintah tentang pentingnya minum susu, maka kita akan tetap menjadi bangsa kerdil. Masyarakat kita umumnya manut dengan pemimpinnya, oleh sebab itu peran pemerintah sangat penting dalam kampanye minum susu.

Pada awal 1950-an, Prof Poorwo Sudarmo (Bapak Gizi Indonesia) mencetuskan Empat Sehat Lima Sempurna dengan menempatkan susu pada urutan terakhir.Karena ada kata sempurna, maka seolah-olah susu adalah penyempurna makanan kita sehari-hari. Padahal, barangkali saja susu diletakkan di urutan terakhir karena bangsa kita belum begitu mengenal susu dan juga susu masih merupakan barang langka yang harganya mahal.

Upaya menggalakkan minum susu juga dapat menjadi salah satu mata rantai untuk meraih sumber daya manusia yang bermutu.

Budaya minum susu yang masih sangat rendah bisa disebabkan oleh adanya anggapan bahwa susu adalah komoditi luks dan hanya untuk golongan menengah ke atas. Di tengah kehidupan ekonomi yang semakin sulit, maka dapat dimaklumi kalau mayoritas masyarakat Indonesia lebih mementingkan membeli pangan sumber karbohidrat daripada minum susu.

Survei pada masyarakat petani dan nonpetani di Subang, Jawa Barat, menunjukkan bahwa susu semakin tidak diminum ketika anak berusia di atas lima tahun. Riset di Karawang, Jabar, menunjukkan 16 persen pengeluaran rumah tangga digunakan untuk membeli rokok, sedangkan untuk lauk pauk hanya 9 persen. Prioritas belanja makanan bergizi dikalahkan oleh belanja rokok. Itulah tragisnya bangsa ini.

Asupan pangan sumber kalsium sangat dibutuhkan karena tubuh menabung kalsium hingga umur 25-30 tahun. Keliru apabila pemberian susu dihentikan di saat anak mencapai usia lima tahun dan setelah itu konsumsi susu tidak dibiasakan lagi dalam rumah tangga.

Inti dari upaya perbaikan gizi adalah kemudahan masyarakat mendapatkan pangan bergizi yang ditunjang dari aspek membaiknya kesejahteraan dan ketersediaan komoditas pangan hewani di pasaran. Menghasilkan anak bertubuh tinggi akan lebih mudah manakala setiap keluarga bisa menyediakan pangan hewani untuk penunjang gizinya sehari-hari.

Kita dapat berkaca pada negara Jepang. Pada saat perekonomian negara Jepang semakin maju pada masa 1950-1970-an, tinggi badan anak-anak muda juga mulai bertambah. Setelah kita merdeka 77 tahun, bangsa ini juga harus berbenah diri agar merdeka dari berbagai masalah gizi yang mengancam anak-anak dan generasi muda kita. Kondisi sehat dan cukup gizi menjadi prasyarat penting untuk melahirkan SDM yang cerdas dan berkualitas.

ap/kcm/ali khomsan, guru besar departemen gizi masyarakat ipb university