Agropustaka.id, Pemikiran. Hanya dalam hitungan hari Penyakit Mulut Kuku (PMK) yang awalnya muncul di beberapa kota di Jawa Timur pada awal bulan Mei 2022, saat ini sudah menyebar ke 18 Propinsi dan 177 kota/kabupaten. Data terakhir dari Kementerian Pertaaniana saat ini lebih dari 100 ribu ekor ternak yang tertular.
Dari penyebaran yang cepat ini membuktikan kebenaran bahwa PMK sebagai penyakit yang sangat berbahaya dan mampu menyebar dengan cepat. Bahkan virus PMK sebagai airborne disease yang dapat menyebar lewat udara dan mencapai jarak 200 km.
Oleh karena itu PMK oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia dikatagorikan sebagai penyakit hewan yang paling berbahaya yang menyerang ternak berkuku genap atau belah seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi. Meski tidak menular kepada manusia, PMK menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar
Kasus mewabahnya PMK di tanah air tidak boleh dianggap enteng. Kerugian bukan hanya diderita oleh para peternak sapi, kerbau, kambing, domba, dan babi. Direktorat Jenderal Peternakan pada tahun 2002 pernah membuat kalkulasi bahwa seandainya di tahun tersebut terjadi wabah PMK di Indonesia, maka potensi kerugian yang timbul sekitar Rp. 16 Triliun. Kerugian bukan hanya dari aspek ternak yang tertular, tetapi biaya pemberantasan serta kerugian ekonomi dari hambatan ekspor dan dampak pada turisme.
Jadi, adanya wabah PMK yang ada saat ini berdampak adanya potensi kerugian yang sangat besar dan harus ditanggung peternak dan Negara kita. Dari berbagai berita yang dilansir oleh mass media, selain upaya untuk memberantas dan mencegah menyebarnya PMK, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian tampaknya lebih cenderung untuk menekankan bahwa daging hewan ternak yang tertular PMK tidak berbahaya untuk dikonsumsi dan hewan tertular PMK dapat disembuhkan.
Sesungguhnya wabah PMK bukan hanya terkait bahwa dagingnya dapat dikonsumsi dan ternak tertular dapat disembuhkan. Banyak sekali yang harus disampaikan oleh Pemerintah kepada masyarakat. Harusnya diinformasikan secara lengkap bahwa PMK sangat berbahaya dan mudah menular. Meskipun tampaknya secara klinis sapi atau hewan yang tertular sepertinya sembuh, namun menurut para ahli PMK hewan yang sembuh masih berperan sebagai carrier (pembawa) virus PMK dan dapat menyebarkan setiap saat.
Selain daripada itu ternak yang dianggap sembuh dipastikan produktivitasnya dan nilai ekonomisnya turun. Misal untuk sapi perah berdampak produksi susu turun. Juga sapi potong. Meski diberi pakan yang bagus, pertambahan berat sapi sangat rendah. Masih banyak lagi efek yang lain termasuk dari fertilitasnya akan terganggu.
Perlu Penjelasan Pemerintah
Saat ini sudah tepat langkah pemberantasan dan pencegahan laju penyebaran wabah PMK yang menjadi prioritas dilakukan oleh Pemerintah. Namun demikian pernyatan resmi Pemerintah asal muasal masuknya PMK belum ada. Sangat penting untuk mengetahui asal muasal masuknya PMK di Negara kita untuk berbagai keperluan antara lain sebagai pembelajaran dan juga menentukan pihak pihak yang bertanggung jawab bobolnya pertahanan kita dari PMK.
Dalam rilis yang diterbitkan oleh Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan disebutkan bahwa masuknya PMK kemungkinan disebabkan masuknya secara ilegal kambing domba dari negara tetangga yang dikirimkan ke Wonosobo. Apakah ini yang menjadi penyebab utama? Kalau ya, seharusnya PMK mewabah dari Jawa Tengah bukan dari Jawa Timur.
Kita belum tahu apa yang menjadi latar belakang penjelasan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan karena secara tidak langsung ini menohok Badan Karantina Kementerian Pertanian yang seolah-olah lalai sehingga ada hewan masuk secara ilegal ke wilayah Republik Indonesia.
Dalam Rapat Kerja Komisi V dengan Menteri Pertanian (23 Mei), Ketua Komisi IV DPR RI menanyakan langsung kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan tentang asal muasal masuknya PMK dan pertanyaan ini tidak bisa dijawab.
Terdapat beberapa spekulasi terkait wabah PMK ini. Seperti kita ketahui bahwa mulai tahun 2016 secara legal telah masuk daging kerbau dari India. Kebijakan Pemerintah memasukkan daging kerbau dari India dari rumor yang ada adalah untuk memberikan rakyat Indonesia daging yang murah seperti halnya Malaysia.
Menurut Badan Kesehatan Hewan Dunia, India adalah salah satu Negara yang statusnya belum bebas PMK. Bahkan Negara tersebut juga tidak memiliki zona yang bebas PMK. Berdasarkan pasal 36 UU No. 41 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, impor hewan atau produk hewan dibolehkan hanya dari negara atau zona suatu negara yang bebas dari PMK.
Tetapi dalam PP No. 4 tahun 2016 juga tersurat bahwa impor hewan atau produk hewan juga dapat dilakukan dari Negara yang statusnya belum bebas PMK. Ketentuan ini yang kemudian menjadi landasan dari juridis masuknya produk hewan dari Negara yang statusnya belum bebas PMK, dan bahkan tidak memiliki zona yang bebas PMK.
Tragedi Nasional
Bagi mereka yang memahami tentang PMK dan melihat kondisi penyebaran penyakit hewan tersebut akan berpendapat bahwa yang terjadi saat ini sebagai suatu tragedi nasional. Kita belum tahu sampai kapan PMK ini akan menteror dunia peternakan di tanah air kita khususnya bagi ternak yang berkuku genap seperti sapi, kerbau, kambing, domba, dan babi.
Kita juga tidak tahu berapa tahun negara kita dapat kembali memiliki status sebagai Negara yang bebas PMK. Kerugian bukan hanya harus diderita oleh para peternak, tetapi terdapat efek lain seperti akan terjadi hambatan ekspor produk tertentu ke negara yang bebas PMK.
Industri turisme juga akan terdampak. Tidak menutup kemungkinan kalau wabah PMK terus berkecamuk, maka negara tertentu akan melarang warganya berkunjung ke Indonesia.
Ekspor produk tertentu juga kemungkinan akan terhambat. Saat ini Pemerintah belum mencoba melakukan exercise atau simulasi perhitungan berapa kerugian dan potensi kerugian yang harus dipikul dari wabah PMK yang melanda Negara saat ini. Termasuk dalam hal ini terkait dengan pemberantasan wabah PMK yang bukan hanya obat, tetapi kompensasi bagi ternak yang tertular, biaya pengadaan vaksin hewan yang masih sehat, serta biaya biaya lainnya.
Bagi para peternak khususnya peternak sapi (baik sapi pedaging ataupun sapi perah) yang sapinya tertular PMK, mereka sangat terpukul karena sapi yang menjadi sumber kehidupan mereka ada yang mati, atau dipotong paksa, atau harus menjual sapi yang tertular dengan harga yang sangat murah.
Peternak sapi perah juga harus menderita karena sapi yang tertular selain harus dipotong juga produksi susu menurun secara drastis sehingga tidak ekonomis sebagai usaha.
Tanggung jawab Pemerintah
Masuknya PMK adalah tanggung jawab Pemerintah yang direpresentasi oleh Kementerian Pertanian karena berdasar Undang Undang yang ada Kementerian Pertanian adalah pihak yang berwenang memberikan rekomendasi masuknya hewan atau produk hewan ke wilayah Negara kita. Selain itu Kementerian Pertanian juga adalah institusi yang memiliki tugas melindungi Negara kita dari masuknya berbagai penyakit hewan termasuk PMK. Untuk itu dibentuk Badan Karantina di Kementerian Pertanian.
Telah banyak usulan dan masukan berbagai pihak kepada Pemerintah menyikapi wabah PMK yang ada saat ini, termasuk usulan agar wabah PMK ini dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
Ada juga usulan agar Presiden Joko Widodo mengambil alih penanganan PMK ini dengan membentuk Satgas mengingat bahwa wabah PMK ini sangat membahayakan perekonomian Negara kita.
Melengkapi berbagai masukan dan usulan yang ada, masih ada beberapa hal yang seharusnya secepatnya dilakukan oleh pemerintah terkait dengan terjadinya outbreak PMK ini yakni :
Pertama, mengupayakan dana kompensasi bagi peternak yang hewan ternaknya mati atau terpaksa dipotong paksa atau dijual dengan murah. Untuk hal ini perlu dilalukan identifikasi dan verifikasi secara ketat.
Kedua, harus segera melakukan penelusuran dan menyelidiki asal muasal masuknya PMK ke Negara kita. Ini sangat penting untuk pembelajaran dan menetapkan kebijakan lebih lanjut serta menetapkan siapa pihak yang membuat kesalahan sehingga PMK mewabah di tanah air.
Ketiga, perlu segera dilakukan kalkulasi besarnya kebutuhan untuk mengatasi masalah wabah PMK secara keseluruhan termasuk dana untuk memberikan kompensasi kepada para peternak atas akibat karena tertular PMK serta keringanan atas kredit bank bagi ternak yang tertular PMK.
Keempat, perlu diproyeksikan dampak wabah PMK ini terutama berapa lama wabah PMK ini dapat diatasi dan kapan Indonesia dapat kembali mendapat pengakuan sebagai Negara yang bebas PMK.
Kelima, menyiapkan rencana pemulihan kegiatan usaha para peternak yang terdampak PMK karena usaha peternakan rakyat meskipun dalam skala kecil merupakan tumpuan kegiatan ekonomi mereka.
Keenam, melakukan penghitungan dan proyeksi berapa komoditas daging sapi dan susu yang harus diimpor dalam kurun sepuluh tahun mendatang dan langkah yang harus ditempuh untuk menekan impor komoditas tersebut. Dipastikan tahun depan dan tahun selanjutnya impor daging sapi dan susu akan meningkat secara signifikan.
Kalau saat ini nilai impor daging sapi/kerbau per tahun sekitar Rp 20 Triliun, mungkin sebagai dampak PMK tahun depan akan semakin meningkat. Demikian juga impor susu yang saat ini per tahun sekitar Rp 18 Triliun, dipastikan akan meningkat pada tahun tahun ke depan karena menurunnya produksi susu dalam negeri.
Ketujuh, perlu mempertimbangkan melakukan tindakan eradikasi atau pemusnahan pada hewan atau ternak yang tertular seperti yang diusulkan anggota DPR – RI Komisi 4. Tentunya langkah ini perlu ditunjang dengan kompensasi yang memadai dan biaya pemusnahan yang tidak murah.
PMK yang mewabah pada saat ini harus pula menjadi pembelajaran bagi Pemerintah dan pihak pihak lainnya yang terkait untuk tidak membuat kebijakan atau keputusan yang berujung kerugian bagi Negara dan rakyat. Jangan sampai membuat lagi kebijakan jangka pendek dan pragmatis dengan mengabaikan kepentingan jangka panjang.
Kita akan lihat mungkin banyak pihak yang akan cuci tangan dan menghindar dari tanggung jawab atas terjadinya wabah PMK ini. Semoga Pemerintah sukses untuk menyelesaikan masalah PMK dan kembali menempatkan negara kita sebagai negara yang statusnya bebas PMK tanpa vaksinasi.
ap/neraca/Teguh Boediyana, Ketua Umum Komite Pendayagunaan Pertanian